Kamis, 30 September 2010

HABIB ALI ZAINAL ABIDIN AL JUFRI


Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.

Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri.

Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh. Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan.

Itulah sebagian gambaran Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat.

Ia memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya. Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal?

Menimba Ilmu dari para Tokoh Besar

Habib Ali Al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi Al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali Al-Jufri.

Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan Al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.

Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.

Ia juga berguru kepada Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Di antara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum Al-Muqarrabin. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada Habib Hamid bin Alwi bin Thahir Al-Haddad, ia membaca Al-Mukhtashar Al-Lathif dan Bidayah Al-Hidayah.

Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada Habib Abu Bakar Al-`Adni bin Ali Al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, Ar-Risalah Al-Jami`ah, Bidayah Al-Hidayah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, Tafsir Al-Jalalain, Tanwir Al-Aghlas, Lathaif Al-Isyarat, Tafsir Ayat Al-Ahkam, dan Tafsir Al-Baghawi.

Pada tahun 1412 H (1991 M) Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M).

Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk Al-Murid, Risalah Al-Mu`awanah, Minhaj Al-`Abidin, Al-`Iqd An-Nabawi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, Al-Hikam, dan sebagainya.

Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti Syaikh Umar bin Husain Al-Khathib, Syaikh Sayyid Mutawalli Asy-Sya`rawi, Syaikh Ismail bin Shadiq Al-Adawi di Al-Jami` Al-Husaini dan di Al-Azhar Asy-Syarif, Mesir, juga Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Di samping itu, Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu.

Dakwah yang Dialogis

Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini.

Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti.

Negara-negara non-Arab di Asia, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, di antaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki. Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Di samping juga mengunjungi Kanada

Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya.

Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan Habib Ali. Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan berkumpul bersama Habib Ali Al-Jufri selama satu malam cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.

Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.

Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.

Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Ini mengakibatkan pemerintah Mesir merasa khawatir, kalau hal ini berlangsung terus akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman Mesir, yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama setelah pariwisata. Artis yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.

Kini ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu.

Kemunculan Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.

Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, Habib Ali Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata bathinnya telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang.

Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah SAW dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar.

Tentu saja cara pandang Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah, merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi SAW, berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.

Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi SAW dan agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya.

Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah Habib Ali Al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis.

Rabu, 29 September 2010

AL HABIB ABU BAKAR AL ATHAS BIN ABDULLAH AL HABSY


Habib Abu Bakar Al-Attas(1) bin Abdullah bin Alwi bin Zain bin Abdullah bin Zain bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Alwi bin Abu Bakar Al-Habshi di lahirkan di Hottah, Hadramaut pada bulan Zulkaedah 1327H (1909M). Beliau adalah merupakan salah seorang daripada guru kepada Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Abdullah bin Abu Bakar bin Aidrus bin Umar bin Aidrus bin Umar bin Abu Bakar bin Aidrus bin al-Husain bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, pengasas Rubath Darul Musthofa di Tarim.

Guru-guru beliau

Semasa kecilnya ditarbiah oleh ayahandanya sendiri. Selepas ayahandanya, Habib Abdullah wafat pada tahun 1342H, tugas tersebut diambilalih oleh kekandanya Habib Hussin. Sebelum meningkat umur remaja, Habib Abu Bakar telah menghafal dan mendalami sebahagian besar isi al-Quran. Beliau menghadiri majlis-majlis ilmu, mendalami kitab-kitab ilmu dan menceduk rahsia-rahsianya yang bagaikan lautan dari ramai ulama. Diantara masyaikh beliau adalah:

• Habib Hussin bin Abdullah al-Habshy

• Habib Alwi bin ‘Abdullah al-Habshy

• Habib Alwi bin Abdullah Benshahab

• Habib Abdullah bin Idrus al-Idrus

• Habib Abdullah bin Umar asy-Syatrie

• Habib Abdul Bari bin Sheikh al-Idrus

• Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Saggaf (as-Saqqaf)

• Habib Ahmad bin Mohsin al-Hedhar

• Habib Ali bin Abdurrahman al-Habshy

• Habib Muhammad bin ‘Ali al-Habshy

• Habib Muhammad bin Salim Asree

• Habib Muhammad bin Hadi as-Saggaf

• Habib Umar bin Muhammad BinSmeth

• Habib Hasan bin Muhammad Balfaqih

• Syeikh Mahfuz bin Utsman

• Syeikh Salim Said Bakayir

Apabila kekandanya wafat pada tahun 1369H, ia beruzlah. Beliau menghampirkan diri kepada Ilahi dan tenggelam dengan zikrullah. Ia menghabiskan sepenuh masanya dengan beribadah di dalam keadaan tenag dan juga mengulangkaji kitab-kitab para ulama yang sholeh yang memberi manfaat.

Disebabkan tekanan dari pemerintah Yaman (pada ketika itu Yaman diperintah oleh komunis) beliau telah meninggalkan Hadramaut dan akhirnya bermastautin di Mekah sehingga akhir hayatnya.

Rutin Harian Beliau

Habib Abu Bakar tidak pernah membuang masa. Masanya dibahagikan untuk amal-amal ketaatan, beribadah, kerja-kerja kebajikan, memberi nasihat dan petunjuk di dalam hal urusan orang Islam. Beliau selalu tenggelam dalam zikrullah. Beliau berjaga malam dan terus beribadah sehingga waktu syuruk. Selepas shalat ia memakan sarapan yang ringan dan tidur sebentar.

Pada jam 10 pagi beliau shalat dhuha dan terus berzikir sehingga waktu zohor. Beliau shalat sunat qabliah zohor sebanyak 4 rakaat dan membaca surah Yasin disetiap rakaat. Selepas shalat zohor dan ba’diahnya, beliau makan tengahari dan berehat.

Jam 4 petang ia terus beribadat. Selepas shalat sunat asar 4 rakaat dan beristighfar 70 kali, beliau menunaikan shalat asar dan diikuti dengan zikir, wirid dan mengadakan majlis roha sehingga maghrib Kemudian diikuti dengan shalat fardhu maghrib, sunat ba’diah dan sunat awwabin sehingga masuk waktu isyak.

Habib Abu Bakar membaca ratib al-Haddad selepas selesai shalat isya’ dan ba’diahnya. Selepas makan malam beliau tidur pada jam 10 malam dan bangun semula pada jam 2 pagi untuk memulakan rutin ibadah hariannya.

Amalan beliau ini mencerminkan sebenar-benar isi kandungan kitab tariqah Ba’alawi – al-ilmu Nabras fi Tanbih ‘ala Manhaj al-Akyas oleh kerana beliau:

“….. mengikuti jejak salaf mereka yang berteraskan ilmu dan amal, pembersihan hati dari pekerti buruk, ketaatan dan amal shalih dengan niat yang bersih, berteman dengan orang baik, tidak bergaul dengan orang-orang yang buruk kelakuan, tidak suka terkenal, menjauhi keramaian dan keriuhan disertai mengaku kekurangan diri, berakhlak mulia, bertekad tinggi, warak, zuhud, lemah-lembut, berhati-hati, meninggalkan orang yang memusuhi mereka dan menumpukan perhatian pada hal-hal akhirat ….”

Penulisan

Al-Habib Abu Bakar menghasilkan enam buah risalah dan salah satu daripadanya bertajuk “al-Tazkir al-Mustaffa”

Wafat

Habib Abu Bakar Attas wafat pada 28 Rejab 1416H dan jenazahnya di shalatkan di Masjidilharam dan diusung hingga ke perkuburan Ma’ala oleh ribuan manusia yang berzikir dan bertahlil yang tidak pernah di lihat ditanah haram.


Notakaki:

(1): Gelaran ‘al-Attas’ telah diberikan [kepadanya] oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Habshi. Rupanya ada rahasia disebalik nama gelaran tersebut. Semasa pemerintahan komunis di Hadramaut, hampir semua alim-ulama diburu dan diseksa dan ada yang dibunuh oleh kerana mempertahankan yang hak Allah. Contohnya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz Benshaikh Abu Bakar [ayahanda kepada Habib Umar], mufti Hadramaut yang ditangkap oleh pihak tentera selepas memberi khutbah dan shalat di Masjid Jame’ Tarim. [ketika terjadinya peristiwa ini, Habib Umar yang ketika itu berusia 9 tahun ada bersama ayahandanya] Ianya hilang ghaib begitu sahaja. Habib Abu Bakar termasuk golongan di dalam ‘hit list’. Dengan izin Allah, ia mengetahui rancangan kejam kerajaan dan sempat mengumpulkan kelurganya dan berlepas ke Jeddah melalui pesawat di Aden. Kepungan oleh pihak tentera dibuat merata-rata untuk mencari Habib Attas tetapi ia terselamat oleh kerana di dalam paspotnya tercatat nama Abu Bakar sahaja.

AL HABIB MUHAMMAD BIN HADI ASSEGAF

Habib Muhammad bin Hadi (1291H-1382H) adalah seorang alim lagi arif. Beliau telah mendidik ribuan murid yang kebanyakan menjadi ulama ahli fiqih. Dalam mendidik murid-muridnya, beliau banyak memberikan nasihat-nasihat yang dikemas dalam kisah-kisah yang penuh hikmah. Beliau menyadari bahawa bagaimanapun sulitnya pengertian yang hendak ditanamkan, tetapi kalau dituturkan dalam format kisah-kisah ringan akan jauh lebih mudah dicerna.

Kisah-kisah ini oleh Habib Muhammad bin Hadi disampaikan kepada para muridnya agar mereka lebih rajin menuntut ilmu, giat dalam beramal dan bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Mutiara Nasihat Beliau

Belajar, Bekerja Atau Beribadah

Setiap orang hendaknya menekuni jalan hidup yang ditetapkan Allah kepadanya.

Siapa yang ditetapkan Allah menjadi penuntut ilmu, hendaknya ia bersungguh-sungguh menuntut ilmu, mengulang-ulang pelajaran dan hafalannya, kemudian mengamalkan ilmunya.

Siapa yang ditetapkan Allah untuk mencari rezeki, hendaknya ia ridho dan bersungguh-sungguh dalam mengelola usahanya.

Begitulah, setiap orang hendaknya ridho dan mensyukuri apa yang telah ditentukan Allah baginya sehingga ia dapat mencapai derajat orang-orang yang sempurna. Penulis Zubad berkata:

Yang benar, kamu bersikukuh pada ketentuan Allah,
hingga Allah memindahkanmu darinya.

Ibnu Atha Illah berkata dalam Al-Hikam:

Keinginanmu untuk ber-tajrid*, padahal Allah meletakkanmu pada asbab** merupakan syahwat yang tersembunyi. Keinginanmu untuk mencari asbab padahal Allah meletakkanmu dalam tajrid akan menurunkanmu dari derajat yang tinggi. (II:72)

Catatan kaki:
* tajrid: mencurahkan semua perhatian, tenaga dan
waktu hanya untuk beribadah kepada Alloh.
** asbab: semua kemudahan (fasilitas) dan sarana
untuk memperoleh kenikmatan duniawi.

Sedekah

Selidikilah, adakah di antara saudara, kerabat atau tetangga kalian yang membutuhkan bantuan. Bagaimana kalian bisa mendapatkan rahmat Allah kalau kalian tidak mengasihi orang-orang miskin!

Kalian hendaknya memiliki rasa belas kasih, karena madad tak akan bisa diperoleh, kecuali dengan sikap kasih. Kasih sayang ini merupakan amalan
hati. Kakekku, Segaf bin Muhammad selalu mengamati keadaan orang-orang miskin dan tetangganya, padahal beliau sendiri adalah seorang yang miskin.

Beliau pernah berpesan kepada para pedagang di pasar, “Jika ada anjing lapar yang lewat, berilah korma. Kemudian catatlah korma-korma itu sebagai
hutangku.”

Perbuatan Habib Segaf ini sesungguhnya digerakkan oleh kasih sayang yang ditanamkan Allah ke dalam hatinya.

Kasihilah orang-orang yang miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, senangkanlah hati mereka.

Rasulullah SAW suatu hari berdoa, “Ya Allah kumpulkanlah aku ke dalam kelompok orang-orang miskin.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah) Beliau tidak
mengatakan, “Ya Allah, kumpulkanlah orang-orang miskin ke dalam kelompokku.”

Habib Segaf, jika duduk bersama orang-orang miskin, ia berkata, “Di hari kiamat nanti, janganlah kalian lupa kepadaku, karena di saat itu kalian memiliki kekuasaan.” (II: 48)

Ummul Mukminin Aisyah RA bersedekah sebutir anggur.
“Sedekah macam apa ini?” tegur seseorang yang kebetulan melihat.
“Tidak pernahkah kalian mendengar firman Allah: Barang siapa berbuat kebaikan sebesar atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS Al-Zalzalah, 99:7) Berapa banyak atom yang terdapat dalam sebutir anggur?”

Allah berfirman, “Hendaklah orang-orang yang dilapangkan rezekinya memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS At-Tholaq, 65:7)

Dipetik dari:

(Tuhfatul Asyraf, Kisah dan Hikmah dalam kalam Habib Muhammad bin Hadi Asseqaf, Putera Riyadi)

Kamis, 23 September 2010

SAYYID JALALUDDIN BIN MUHAMMAD WAHID AIDID


Sayyid Jalaluddinn bin Muhammad Wahid Al-Aidid lahir di Aceh, tahun 1603, merupakan cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Juga merupakan keturunan Hadramaut yang masih keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Ra, putri dari Rasulullah Saw. Tepatnya keturunan yang ke-27 dari Nabi Muhammad Saw.

Ia sempat menuntut ilmu ke negeri Timur Tengah. Saat ia tiba di kerajaan Goa Makassar pada abad 17 pada masa pemerintahan Sultan Alauddin, sempat singgah terlebih dahulu ke Banjarmasin untuk menyebarkan agama Islam. Di Makassar beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan. Oleh Sayyid Jalaluddin, Putra Mahkota kerajaan Goa diberi nama Muhammad al-Baqir Imallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Dan Sultan Hasanuddin merupakan muridnya yang pertama, dan berguru padanya selama 16 tahun. Diberitakan bahwa Syekh Yusuf berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya.

Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah agama yang beliau bawa merupakan karangan-karangan Nuruddin ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang naskah-naskah tersebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang dan telah disalin berulang-ulang. Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan — seperti dikutip Abd. Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk. dalam Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi, 1982 —merupakan gelombang lanjutan dari proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis Makassar sesudah periode Dato’ ri Bandang, Dato’ di Tiro dan kawan-kawan pada awal abad ke-17.

Ia menikah dengan Daeng Ta Mameng binti Sultan Abdul Kadir Alauddin, seorang putri bangsawan yang masih mempunyai darah kerajaan Gowa, dan mempunyai 5 orang anak. Saat ia pertama datang ke Makassar banyak yang meragukan bahwa ia seorang keturunan dari Hadramaut, karena pada saat itu faham Al-Aidid belum menyebar di Indonesia, sehingga ia diacuhkan oleh sultan Makassar. Sehingga ia berpindah ke Cikoang dan menyebarkan agama Islam disana.

Upacara Maudu Lompoa

Untuk tujuan menyebarkan agama Islam itulah, Ia memulai tradisi upacara "Maudu Lompoa." Dimana sengaja diselenggarakan upacara tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu maulid Nabi Muhammad Saw. Ia menulis kitab Rate’ yang berisi inti dari ajaran agama Islam serta riwayat hidup Rasulullah Saw hingga Jalaluddin Al-Aidid. Dimana isi dari kitab tersebut dibacakan pada setiap peringatan maudu Lompoa tersebut.
Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid mengajarkan 3 hal penting yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya upacara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-Ma’rifah, al-Iman dan al-Mahabbah.

Dengan prinsip itu diyakini bahwa pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap Allah terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman mendalam atas kejadian dan kelahiran Nabi Muhammad saw. Masyarakat Cikoang mengenal 2 proses kelahiran beliau, yaitu kelahiran di alam ghaib (arwah) dan kelahiran di alam syahadah (dunia).
Kejadian di alam ghaib berwujud “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai sumber segala makhluk yang daripadanyalah tercipta alam semesta ini. Masyarakat di Cikoang — khususnya para Sayyid — percaya bahwa Allah menyinari dan memberi cahaya langit dan bumi (bertajalli) melalui “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai pokok kejadian segala makhluk dan rahmat bagi seluruh Alam.

Sedangkan kelahiran beliau di alam syahadah ini diyakini merupakan kelahiran dengan membawa kebenaran yang mutlak untuk dipegang. Karenanya sebagai upaya untuk menyinambungkan ikatan pada dua konsepsi dasar kelahiran Nabi prosesi peringatan maulid menjadi sesuatu yang amat sakral. Masyarakat Takalar —khususnya para sayyid—  meyakini sepenuhnya kelahiran Rasulullah saw merupakan isyarat kemenangan. Dan kemenangan harus diwujudkan dalam penguatan ikatan cinta melalui maudu’ lompoa kepada hasrat suci Nabi.

Saat perang adu domba Belanda bergejolak antara suku Bugis di Buton dan suku Makassar di Gowa, beliau ikut membantu dalam perlawanan melawan Aru Palaka, Raja Bone. Kemudian, Saat perang mulai bergejolak dengan ditolaknya perjanjian Bungaya oleh Karaeng Galesong, Karaeng Bontomaranu, serta Sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin pada tahun 1667. Maka dengan perjanjian yang mengharuskan Karaeng Galesong dan sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin untuk diserahkan kepada pihak Belanda karena dianggap musuh yang paling besar dan berpengaruh, maka mereka melarikan diri ke tanah Jawa. Sayyid Jalaluddin pun turut serta dalam acara melarikan diri tersebut. Mereka mendarat pertama di ujung barat pulau Sumbawa, sesampainya disana mereka berpisah. Dimana Karaeng Galesong, sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin, serta laskar Karaeng Galesong melanjutkan perjalanan ke tanah Jawa di arah barat. Sedangkan Sayyid melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga tiba di Bima. Dengan membawa seluruh harta yang mereka bawa dari Makassar, dan mengganti nama selama perjalanan menjadi Mutahar.

Sayyid Jalaluddin Aidid hidup di Bima sekitar 30 tahun, dimana Ia menyebarkan agama Islam di Bima. Walaupun demikian, beliau tetap memiliki kendala yaitu belum terkenalnya faham Al-Aidid sebagai bagian dari Hadramaut, dibandingkan dengan nama-nama hadramaut lain seperti Assegaf, Kaff, dan yang lainya. Maka ia menerima keraguan dari para sultan dan orang-orang kerajaan.

Sayyid Jalaluddin Aidid wafat saat menyebarkan agama Islam di daerah pedalaman Bima tahun 1693, dimana ia mencoba mengajak para penduduk asli yang masih tinggal di puncak gunung untuk masuk kedalam agama Islam. Dengan alasan bahwa ajaran yang dibawa oleh Sayyid jalaluddin Aidid adalah ajaran sesat. Para pihak Belanda mencoba untuk mengadu domba, sehingga ditikamlah Sayyid Jalaluddin Aidid dengan tombak oleh salah satu penduduk. Saat ia sekarat, Belanda menembaknya hingga tewas.

Saat ini makam Sayyid Jalaluddin Al-Aidid berada di Bima. Di puncak bukit salah satu dusun terpencil di Bima, dimakamkan oleh para pengikut setianya serta para penduduk yang mengikuti ajarannya. Saat ini tempat itu menjadi pemukiman yang kental nilai Islaminya, baik dari segi kehidupan sehari-hari hingga tradisi adat mereka. Doa tak putus-putusnya untuk Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, dan ditempatkan di syurga-Nya. Amin.

Sumber: http://ardyaidid.blogspot.com

SYARIFAH FATMA BINTI ABDULLAH AIDID ( KRAMAT PETOGOGAN )


Sekitar tahun 1700 M atau 1100 H didaerah yang sekarang bernama Kebayoran Baru, hiduplah seorang tuan tanah yang Bernama Saimun. Dia mempunyai seorang putri yang bernama Sakinah. Pada suatu waktu Saimun jatuh sakit dan dia telah berupaya dengan berbagai cara untuk mengobati penyakitnya. Kemudian dia membuat nazar akan menikahkan putrinya kepada orang yang dapat mengobati penyakitnya.

Adalah seorang laki-laki yang datang dari negeri Hadromaut, Yaman yang merantau ke negeri Indonesia khususnya Jakarta untuk menyebarkan Agama Islam kepada penduduknya, Beliau bernama Habib Abdullah bin Muhammad Aidid yang merupakan masih keturunan daripada Nabi Muhammad SAW. Beliaupun diminta oleh Saimun untuk mengobati penyakitnya, dengan niat ikhlas Habib Abdullah lalu mengobatinya. Dengan izin Allah SWT maka Saimun dapat sembuh dari penyakitnya.

Sesuai dengan nazarnya, Saimun pun menikahkan putrinya dengan orang yang dapat mengobati penyakitnya yaitu Habib Abdullah Bin Muhammad Aidid. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putri yang mereka beri nama Fatma.
Syarifah Fatma binti Abdullah Aidid pun tumbuh dan berkembang menjadi seorang putri yang cantik dan salehah. Pada umurnya yang sekitar 8 tahun lebih telah mampu hapal Al Qur'an, dan beliaupun mampu mengobati orang yang sakit dengan karomahnya. Dan pada umur 9 tahun-an ketika beliau mendapatkan haid pertamanya dan setelah bersih dari haidnya, Beliau meninggal dunia.

Habib Abdullah menguburkan Jasad putrinya dan beliaupun kini tinggal sendirian setelah sebelumnya mertua dan istrinya telah meninggal lebih dahulu dari anaknya. Karena itu beliau memutuskan untuk kembali ke negerinya dan meninggalkan seluruh hartanya untuk diwakafkan dan menyerahkan kepada pembantunya sambil berpesan untuk menjaga dan merawat makam putrinya,

Dan juga disebutkan salah satu karomah  Makam Syarifah Fatma, apabila ada burung yang terbang melintas diatas makamnya maka akan terjatuh, juga pesawat udara yang terbang diatasnya akan diam tak bergerak.
Dan dimasa penjajahan Belanda, para pejuang kita apabila mereka mencegat iringan konvoi tentara Belanda menuju daerah Kota atau pelabuhan Sunda kelapa dan para pejuang terdesak, mereka berlari kedaerah sekitar makam. Jika Belanda menembakkan meriamnya ke arah pejuang yang bersembunyi didaerah makam Syarifah Fatma, maka meriam itu tidak akan meledak.

Dan lainnya adalah bahwasannya cahaya dari kubur Sunan Cirebon dan juga Sunan Banten itu menyatu dengan cahaya dari kubur Syarifah Fatma lalu memancar ke langit.

Demikianlah riwayat singkat Wan Syarifah Fatma binti Abdullah Aidid atau Kramat Petogogan yang makamnya berada di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, tepatnya di belakang kantor walikota Jakarta Selatan di areal pekuburan Petogogan Blok P, Kebayoran Baru.

Di makam itu juga setiap hari Minggu Subuh diadakan kegiatan shalat subuh berjamaah dan dilanjutkan ziarah ke makam Wan Syarifah Fatma binti Abdullah Aidid yang di pimpin oleh Habib Quraisy Bin Ali Aidid yang merupakan keturunan langsung Wan Syarifah Fatma yang merasa memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan dan meramaikan mushala dan makam, beliau juga pimpinan Majlis Ta'lim Dzikrullah Maula Aidid, Pekojan.

Semoga kita dapat mengambil hikmahnya dan juga dapat megikuti kegiatan shalat subuh berjama'ah setiap minggu subuh untuk mengambil barokahnya. Waallahu A'lam.

SAYYID UMAR BIN AHMAD BIN SALIM AIDID (1343-1421 H )


Assayyid Assholeh Salim Al Baal Shofi Al Hal Umar bin Ahmad bin Salim Aidid tinggal di Mekah Al Mukaromah, dilahirkan di Wadi Aidid salah satu wadi dipinggiran kota Tarim tahun 1343 H. Ibunya anak dari Assayyid Alwi bin Ahmad Assegaf Asshofi. Sayyid Umar Aidid hidup atas didikan orang tuanya. Ayahnya wafat ketika beliau berumur 10 tahun, lalu diasuh oleh kakaknya yang tertua bernama Idrus, sehingga beliau hafal Al-Qur’an dan sebagian matan.

Kemudian beliau belajar ilmu dari beberapa guru, salah satunya Al Habib Muhammad bin Hasan Aidid yang mengawinkan anak perempuannya. Allah memberikan kemudahan belajar dengannya, beliau membaca dan mendapat ijazah kitab "Tuhfatul Mustafiid". Selain belajar kitab tersebut dengan Habib Muhammad bin Hasan Aidid, beliau juga belajar dengan Habib Abdullah bin Umar Syatiri, Habib Abdulbari bin Syekh Al Aydrus, dan Habib Alwi bin Abdullah bin Syahabuddin. Beliau sangat senang mempelajari dan melazimkan didalam majelisnya membaca kitab Tuhfatul Mustafiid. Hatinya selalu diliputi cinta kepada Habib Alwi, dan selalu menyebutkan kebaikannya serta sering menyebutkan keadaannya. Begitu juga beliau belajar dengan Habib Musthafa bin Ahmad Al Muhdhor, Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, dan Umar bin Abdullah Al Habsyi. Sayyid Umar Aidid juga belajar kepada Sayyidul Walid Ali bin Abubakar Al Masyhur, belajar kitab "Al-Mukhtashor Asshoghir" karya Bafadol, keduanya mempunyai ikatan yang dekat dan bersahabat, karena dua hal :

Ada unsur pernikahan pada anak Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid.

Assayyid Muhammad bin Abubakar Al Masyhur menikahi saudara perempuan Sayyid Umar Aidid, namanya Fatimah.

Guru-guru beliau yang lainnya adalah Assayyid Alwi Al Maliki Al Hasani, Assayyid Muhammad Amin Kutubi Al Hasani, Assayid Hasan Fad’aq, Assyekh Hasan Sa’id Yamani, Assayyid Muhammad Sholeh Al Muhdhor, Assayyid Abubakar Atthas Al Habsyi, Assayyid Abdul Qadir Assegaf, Assyekh Muhammad Nur Seif, Assayyid Muhammad Al Haddar, Assyekh Hasan Al Masyath, dan lainnya, semoga Allah meridhoi mereka.

Assayyid Umar Aidid mengajar dirumahnya didaerah Al Amirah di Balad Al Haram hingga wafat. Murid-murid beliau datang dari berbagai penjuru, satu diantara mereka Assyekh Muhammad Ismail Azzain.
Assayyid Umar Aidid pernah pergi ke Afrika (Assawahil) pada tahun 1364 H, untuk berdakwah dan memberi petunjuk ilmu selama satu tahun, kemudian kembali ke Tarim.

Assayyid Umar Aidid bertemu dengan pengarang kitab Assayyidul Walid Habib Ali bin Abubakar Al Masyhur di Mekah Al Mukaromah setelah Assayyid Walid keluar Yaman, keduanya berganti-ganti melakukan kunjungan. Assayyid Umar pernah tinggal di Mekah tahun 1371 H, dan bekerja di Haromain sebagai penulis. Dan tinggal di Madinah di Rubat Anas bin Malik, kemudian bekerja di Mekah. Pada waktu liburan resmi sering ziarah ke Hadhramaut, tekun menghadiri majelis-majelis di Mekah, salah satunya majelis Habib 'Athas Habsyi. Assayyid Umar Aidid mencintainya, selalu datang dan takjub dengan buah pikirannya. Assayyid Umar Aidid terkena bermacam penyakit diantaranya penyakit diabetes sampai salah satu kakinya diamputasi sehingga duduk di kursi roda selama hidupnya.

Habib Ali bin Abubakar Al Masyhur terus berkunjung kepada Sayyid Umar Aidid di Mekah dan Jeddah. Pernah Habib Ali berkunjung kerumahnya pada bulan Jumadil Tsani 1418 H, Habib Ali dan yang hadir mendapatkan ijazah dan dibacakan Fatihah buat yang hadir. Habib Ali membaca kitab Tuhfatul Mustafiid didepannya kemudian diijazahkan oleh Sayyid Umar Aidid dengan ijazah yang telah diijazahkan oleh pengarang kitab.

Kitab yang dikarangnya adalah Al Fajru Al Jadid (dalam tulisan tangan). Beliau mempunyai beberapa catatan-catatan atas beberapa kitab yang pernah beliau ajarkan. Dan telah meninggalkan perpustakaan yang ada pada anaknya Assayyid Abdul Qadir.

Assayyid Umar Aidid wafat pada hari Senin diwaktu fajar tanggal 26/12/1421 H dalam usia 78 tahun. Di makamkan diwaktu Ashar dipekuburan Ma’la dan meninggalkan 4 orang anak perempuan, 2 diantaranya wafat sewaktu kecil, dan 3 orang anak laki-laki, yaitu:

Muhammad, menetap di Tarim

Abdul Qadir, menetap di Mekah

Ahmad (wafat terlebih dahulu).


Sumber: himpunan-aidid.org 

AL HABIB MUHAMMAD BIN HASAN BIN AHMAD AIDID


Al-Habib Muhammad bin Hasan bin Ahmad Aidid mempunyai perangai yang terpuji dan mulia juga ilmuwan serta kewalian yang tak mungkin tertulis karena keluasan ilmunya.

Lahir pada malam berkah tanggal 25 Ramadhan tahun 1290 H. di Wadi Aidid, Tarim. Ketika dilahirkan ayahnya berada di Masjid Maula Aidid sedang menghadiri Khatamul Qur'an. Setelah mendengar kelahiran puteranya orang-orang serentak malam itu memukul gendang karena mendengar kabar gembira tersebut. Walaupun ayahnya mempunyai mata yang rabun, tapi beliau sangat gembira dalam hal ini.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mendapat pengasuhan serta pendidikan dari ayahnya, ayahnya sangat memperhatikan tarbiyah kepadanya, sehingga ayahnya banyak dirumah. Ketika berumur 6 tahun, selalu diajak ayahnya duduk di Masjid atau i'tikaf dan jika menemui salah seorang salihin, ayahnya menyuruh cium tangan kepada orang salihin tersebut dan meminta doanya. Begitulah yang sering dilakukan ayahnya terhadapnya, sampai beliau sakit dan akhirnya wafat. Ayahnya wafat tahun 1297 H., sedangkan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid belum genap berumur 7 tahun.

Kemudian ibunya meneruskan pendidikan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengirimnya belajar pada Syekh Abdurahman bin Muhammad bin Sulaiman Bahami di tempatnya Syekh Kutub Abdullah bin Abubakar Alaydrus hingga selesai mempelajari Al-Qur'an. Setelah menanjak dewasa beliau keluar Hadramaut untuk mencari rezeki, bertemu, duduk dan mengambil ilmu dengan ulama-ulama besar khususnya di daerah Jawa, diantaranya Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, Al-Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad, Al-Habib Muhammad bin Aqil bin Abdullah bin Umar bin yahya dan saudaranya Umar bin Agil bin Yahya, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Husein bin Tahir serta banyak lagi dari ulama-ulama lainnya. Di Tarim diantaranya  Al-Habib Abdurahman bin Muhammad Almasyhur yang disebutkan didalam Tuhfatul Mustafid, bahwasanya Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengambil ilmu darinya, selalu bersamanya, menshohibnya (menemaninya), menghadiri pelajaran-pelajaran dan majelis-majelisnya.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mempunyai hubungan erat dengan Al-Alamah Al-Habib Umar bin Hasan bin Abdullah Alhaddad karena sering berkunjung ke Al-Hawi, Tarim dan belajar bermacam-macam ilmu kepadanya sehingga mendapat ijazah darinya. Juga mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa sayyid yang mempunyai keutamaan dan kewalian yang ada pada zaman itu, seperti Sayyid Al-Wali Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Alkaff, Syekh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus, Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih, Muhammad bin Abdullah bin Umar bin yahya, Husein bin Umar bin Sahal Maula Dawilah.

Pada awal bulan Muharram tahun 1304 H. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengadakan perjalanan dengan ijin dari guru-gurunya menuju Jawa, sehingga beliau banyak menimba ilmu pada saat berada di Jawa dari ulama-ulama ketika itu. Kemudian awal tahun 1309 H. beliau kembali kenegeri asalnya melalui kota Aden, dan menetap di kota Tarim bersama para ulama-ulama zaman itu seperti Assayyid Al-Alamah Abdurahman bin Muhammad bin Husein Almasyhur hingga wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur tahun 1320 H.
Setelah wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur, beliau berkunjung kedaerah Du'an. Dan di daerah Du'an beliau banyak mengambil ilmu dari guru-guru yang ada di daerah Du'an hingga beliau kembali ke Tarim pada bulan Rajab tahun 1320 H.

Kemudian kembali ke Hadhramaut dan menetap guna memperbanyak ibadah, berkunjung kepada para salihin atau tempat-tempat yang berkah dan majelis-majelis. Akhir umurnya beliau tinggal di Hadhramaut, mendukung ahli dakwah dalam penyebarannya dan terkadang mengumpulkan mereka dan semua orang terutama ketika terjadi kesusahan, kekeringan untuk membaca hadits Bukhori. Kemudian mengkhususkan bacaan tersebut pada bulan Ramadhan dan 6 hari dibulan Syawwal dan mengkhatamkannya dengan dihadiri pemimpin negeri, ulama-ulama dan orang banyak.
Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mulai sakit tanggal 21 Muharram 1361 H. hingga wafat pada hari Sabtu 28 Muharram 1361 H. dan dikuburkan pada hari Minggu di Zanbal, Tarim di sholati oleh Al-Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad Assyatiri.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid orang yang kasyaf dan mempunyai karomah serta nampak sesuatu pada dirinya faedah-faedah, berita keajaiban dan kelembutannya diantara keajaibannya adalah, tatkala beliau sakit diatas kasur, beliau mengatakan akan waktu meninggalnya, akan banjir di Tarim yang akan mencapai ketinggian sekian. Beliau memberi wasiat agar dimandikan dengan air tersebut karena air tersebut adalah air kautsar. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid sering mengingat air kautsar. Sehingga beliau selalu menyuruh orang yang duduk disekelilingnya agar selalu membaca : " Allahu Nurussamaawaati wal ardh........sampai akhir ayat " , mulai saat itu beliau tidak mau minum dan makan kecuali susu. Al-Habib Muhammad bin Hasan meninggal pada waktu ia tentukan. Itu semua atas ketentuan Allah. Beliau dimandikan dengan air tersebut. Allah merahmatinya dengan rahmat orang yang dekat dengan Allah. Ditempatkan di Surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan semoga Allah memberikan kepada kita manfaatnya dan orang-orang yang sepertinya dari orang-orang yang saleh. Amin.

Sumber: himpunan-aidid.org 

SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AT TIJANI

Syeikh Ahmad bin Muhammad Al-Hasani lahir pada Hari Kamis, 13 Shafar 1150 H. di Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, di Sahara Timur Maroko. Dari keluarga besar/Kabilah Tijan. Kabilah ini banyak melahirkan ulama-ulama dan wali-wali yang shaleh.

Dari garis ayah adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad Salim bin Al ‘id bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdulloh bin Al-Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsiz Zakiyah bin Abdulloh bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibthi bin Ali bin Abi Tholib dan Sayyidah Fatimatuzzahra binti Rasulullah Muhammad SAW.

Dari garis ibu adalah Ahmad binti Sayyidah Aisyah binti Abu Abdillah Muhammad bin As-Sanusi At-Tijani Al-Madhawi.

Keabsahan silsilah ini berdasarkan beberapa keterangan garis keturunannya secara turun temurun. Juga dinyatakan langsung oleh Rasululloh SAW: “Engkau benar-benar anakku (Anta waladi haqqan). Nasabmu melalui Hasan bin Ali adalah shahih.”

Kedua orang tuanya mengasuh dengan didikan beberapa etika sunah, rahasia syari’at dan cahaya kebenaran. Sehingga masa kecilnya sangat terjaga. Beliau pun tumbuh dalam kebesaran akhlak muhammadiyah. Pada umur 7 tahun telah hafal Alqur’an dalam qira’at Imam Nafi’ dengan baik di bawah bimbingan gurunya, Sayid Muhammad bin Hamawi At-Tijani. Seorang guru yang alim dan terkenal keshalehan serta kewaliannya. Al-Hamawi terkenal sebagai pendidik anak-anak di Ain Madhi. Diceritakan bahwa Sayid Muhammad bin Hamawi mimpi bertemu Alloh SWT dan membaca Alqur’an dalam Qira’at Imam Warasy sehingga khatam. Alloh SWT berfirman kepadanya: “Demikianlah Alqur’an diturunkan.” Beliau meninggal pada tahun 1162 H.

Pendidikannya dilanjutkan dengan mempelajari beberapa ilmu yang bermanfaat. Seperti: Ilmu Usul, Furu’ dan Adab. Orang tua Syeikh Ahmad sangat mempercayakan pendidikan masa kecil Syeikh kepada Al-Hamawi. Syeikh banyak mempelajari cabang ilmu dari Al-Hamawi. Dengan kecerdasannya Beliau cepat menguasai beberapa ilmu dengansempurna.

Di samping Al-Hamawi, Syeikh Ahmad menyelesaikan Al-Mukhtasor karya Imam Kholil, Ar-Risalah karya Ibnu Rusyd dan Al-Muqaddimah karya Imam al-Akhdhari dari gurunya yang lain, Sayid Al-Mabruk bin Bu Afiyah At-Tijani.

Tahun 1166 H. kedua orang tuanya meninggal pada hari yang bersamaan, karena penyakit tho-un/lepra yang mewabah. Yaitu ketika Syeikh Ahmad berumur 16 tahun.

Dalam usia yang relatif muda, Syeikh telah menunjukkan kelebihannya dan keluasan ilmunya. Dunia ilmu pendididikan terus dijalaninya. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Syeikh tetap aktif dalam membaca ilmu, mengajar, menulis dan memberi fatwa.

Pada tahun 1171 Syeikh mulai memasuki dunia sufi. Dalam salah satu fatwanya Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Dalam nash syara’ hanya diterangkan kewajiban tiap orang untuk memenuhi beberapa hak Alloh secara penuh, lahir dan batin. Tanpa adanya alasan apa pun. Tidak ada alasan apa pun untuknya dari hawa nafsu dan kelemahannya. Dalam syara’ hanya mewajibkan hal tersebut dan mengharamkan lainnya. Karena adanya siksa. Tidak ada kewajiban mencari guru selain guru ta’lim yang mengajarkan tata cara perkara syara’ yang dituntut untuk dilaksanakan seorang hamba. Baik berupa perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang harus ditinggalkan. Tiap orang bodoh harus mencari guru ini. Tidak ada keluasan atau alasan meninggalkannya. Ada pun guru-guru lainnya setelah guru ta’lim tidak ada kewajiban mencarinya menurut syara’. Akan tetapi wajib mencarinya dari sisi nadhar. Seperti halnya orang yang sakit dan kehilangan kesehatannya. Apabila dia keluar untuk mencari kesembuhannya, maka mencarinya adalah wajib. Kami katakan wajib mencari dokter yang ahli dalam mendiagnosa penyakit, asalnya, obatnya, cara memperolehnya.

Jawaban Syeikh ini memberikan kejelasan dalam masalah pencarian guru. Karena sebagian ulama telah mengatakan bahwa meninggalkan pencarian terhadap guru tarbiyah dianggap maksiat.

Dari sini dapat diketahui bahwa masuknya Syeikh dalam dunia sufi tidak dikarenakan mengikuti kebanyakan manusia yang dilakukan zaman sekarang. Mereka memasuki sebuah jalan tujuan, tanpa adanya pertimbangan berdasarkan pengetahuan tentang sesuatu yang sedang mereka masuki. Mereka memasuki jalan tidak lebih karena anggapan sebagian orang yang menilainya dengan keindahan luarnya belaka. Syeikh memasuki dunia sufi berdasarkan pemikiran dan pengetahuan pada sesuatu yang dikehendakinya dan memantapkannya. Sebagai bukti seorang murid (pencari kebenaran) yang shadiq. Murid yang mengetahui keagungan Rububiyah dan hak-hak Ilahiyah. Mengetahui bagian yang ada dalam dirinya, berupa kelemahan, kemalasan, menyukai kenikmatan, dan meninggalkan amal shaleh. Di mana jika keadaan itu terus ada dalam dirinya akan menyebabkannya tidak dapat memperoleh puncak tujuan dunia-akhirat. Itu pun dilakukan setelah menguasai cabanng-cabang ilmu. Pengetahuannya membawa dirinya untuk segera kembali dengan tekad, semangat dan kemantapan; mencari seorang yang dapat membuka belenggu syahwatnya dan menunjukkannya kepada jalan untuk sampai ke hadapan Robnya.Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Ini adalah ciri murid shadiq (pencari kebenaran sejati). Adapun lainnya hanya murid thalib atau pencari biasa. Terkadang dia dapat mendapatkan hasil. Terkadang tidak mendapatkan apa-apa.”

Oleh karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa setiap orang yang awalnya kokoh, maka akhirnya akan sempurna.

Menginjak usia 21 tahun Syeikh melakukan berbagai kunjungan ke beberapa daerah di Fas. Melakukan banyak diskusi dengan beberapa ahli kebaikan, agama, rehabilitasi jiwa, dan penemu kebahagian hakiki.

Lawatan itu mengantarkannya ke Gunung Zabib dan bertemu dengan seorang wali kasyaf yang memberikan isyarat agar kembali ke negeri atau daerahnya, yaitu Ain Madhi. Wali tersebut memeberitahukan akhir kedudukan yang akan dicapainya. Tanpa harus menetap di daerah lain. Kemudian Syeikh segera kembali ke daerahya.

Orang yang paling banyak mewarnai corak kehidupan Syeikh adalah Sayid Abdul Qadir bin Muhammad. Seorang kutub yang tinggal di ‘negeri putih’ (Baladul Abyadh) Shahara Dzar. Daerah ini agaknya tidak jauh di Ain Madhi. Karena di sela-sela pengabdiannya, Syeikh sering pulang ke rumahnya. Syeikh menetap di Zawiyahnya 5 tahun untuk menuntut ilmu, mengajar dan beribadah. Selanjutnya Syeikh tetap tinggal di Ain Madhi sesuai dengan petunjuk wali kasyaf di Gunung Zabib.

Di antara beberapa guru yang ditemui Syeikh dalam perjalanan ke Fas dan sekitarnya adalah wali kutub yang terkenal, Maulana Ahmad As-Shaqali Al-Idrisiyah, salah seorang ternama dalam Thariqat Khalwatiyah di Fas. Dalam pertemuannya ini As-shaqali tidak banyak melakukan pembahasan. Syeikh pun tidak mengambil apa pun darinya.

Kemudian Syeikh bertemu dengan Sayid Muhammad bin Hasan Al-Wanjali. Salah seorang wali kasyf di sekitar Gunung Zabib. Ketika bertemu, sebelum mengucapkan apa pun, Al-Wanjali berkata kepada Syeikh Ahmad Attijani:

“Dirimu pasti akan menemukan kedudukan al-quthbul kabir Maulana Abil Hasan.”

Agaknya Al-Wanjali merupakan salah seorang tokoh dari Thariqat Syadziliyah. Karena isyarat yang diberikan olehnya menunjukkan bahwa Syeikh akan mencapai kedudukan Abil Hasan Asy-Syadzili. Menurut Al-Wanjali perjalanan yang telah ditempuh oleh Syeikh dari daerahnya (Ain Madhi) sampai ke Fas Al-Idrisiyah dan beberapa daerah Maghribi lainnya untuk mencari seseorang yang dapat mengantarkannya kepada Makrifat Billah adalah bukti kehendaknya untuk mencapai keinginan tersebut. Al-Wanjali banyak menyingkap rahasia yang tersimpan dalam diri Syeikh dan memberitahukan kedudukan yang akan diperolehnya. Meskipun tidak mengambil wirid dari Al-Wanjali, akan tetapi penyingkapan yang telah disampaikannya memiliki andil dalam memperkuat cita-cita Syeikh. Sehingga akhirnya semua itu menjadi kenyataan. Al-Wanjali meninggal sekitar tahun 1185 H.

Wali Kutub lain yang ditemui Syeikh adalah Maulana At-Thayib bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim Al-Yamlahi. Sejarah hidup keluarganya sangat terkenal dan banyak ditulis oleh para pengikutnya sebagai orang besar di Fas. Legenda keluarganya secara beberapa generasi telah memperoleh kedudukan kutub. Maulana At-Thayib mewarisi kekhilafahan para pendahulunya dalam memberikan petunjuk kepada manusia di jalan Alloh dan kesempurnaan makrifatnya. Ia menjadi khalifah menggantikan saudaranya Maulana At-Tihami yang menggantikan Sayid Muhammad yang menggantikan Maulana Abdulloh. Diceritakan bahwa Maulana Abdulloh (w. th. 1089 H.), kakek At-Thayib adalah orang pertama yang menetap di Wazin. Agaknya keluarga At-Thayib secara turun-temurun memegang Thariqat Jazuliyah. Hal ini terbukti bahwa kakeknya telah berkhidmah kepadaAhmad bin Ali Ash-Sharsori, salah seorang tokoh Thariqat Jazuliyah.Ciri pokok tarekat ini adalah dengan memperbanyak shalawat. Ayah At-Thoyib, Sayid Muhammad yang juga mencapai kedudukan kutub mengatakan: “Seseorang tidak akan memperoleh derajat tertinggi, melainkan dengan banyak membaca shalawat kepada Nabi SAW.” Sayid Muhammad meninggal pada Malam Jum’at, tanggal 29 Muharam 1120 H.

Dalam pertemuannya dengan Ath-Thayib Syeikh mengambil wirid darinya. Bahkan dalam ijazahnya, At-Thayib telah memberikan izin kepada Syeikh untuk memberikan talkin pada orang yang hendak mengambil wiridnya. Akan tetapi Syeikh menolak hak talkin tersebut karena pada saat itu masih mempunyai cita-cita sendiri dan belum berminat untuk memegang salah satu jenisnya. Di sini Syeikh menunjukkan ketinggian cita-citanya berdasarkan asal fitrahnya. Di samping itu Syeikh belum mengetahui akhir kedudukannya pada waktu tersebut. At-Thayib adalah salah satu guru yang diakui oleh Syeikh pada awal perjalannya. Beliau wafat pada Hari Ahad, Bulan Rabiuts Tsani, tahun 1181 H.

Selanjutnya, Syeikh bertemu dengan Sayid Abdulloh bin Al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdulloh Al-Andalusi di Fas. Thariqatnya bercorak Isyrak (konsep cahaya). Pertemuan ini banyak memperbincangkan beberapa masalah. Meskipun tidak mengambil sesuatu darinya, Al-Arabi memberikan doa yang sangat berarti dalam perjalanan Syeikh selanjutnya. Al-Arabi mendoakan kebaikan dunia dan akhirat dan pada akhir perjumpaannya berkata:

“Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu (menolongmu). “Alloh akan menuntun tanganmu(menolongmu).”

Al-Arabi wafat pada tahun 1188 H.

Syeikh juga pernah mengambil Thariqat Qadiriyahnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di Fas dari seseorang yang mempunyai izin untuk mentalkinkannya. Hanya saja kemudian ditinggalkan.

Thariqat lainnya yang pernah diambil oleh Syeikh adalah Thariqat Nashiriyah dari Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Nazani. Tidak berapa lama thariqat ini pun ditinggalkan. KemudianThariqat Sayid Muhammad Al-Habib bin Muhammad, seorang kutub yang masyhur dengan Al-Ghamari As-sijlimasi Ash-Shadiqi (w. th. 1165 H.) melalui orang yang telah mendapatkan izin. Thariqat ini pun ditinggalkan.

Selanjutnya Syeikh mengambil ijazah dari Tokoh Malamatiyah, Sayid Abul Abbas Ahmad Ath-Thawas di Tazah. Ath-Thawas mengajarkan salah satu isim (nama ilahi) kepadanya dan berkata:

“Tetaplah khalwat, menyendiri dan dzikir. Sabarlah, sehingga Alloh memberikan futuh kepadamu. Sesungguhnya dirimu akan memperoleh kedudukan yang agung.”

Perkataan At-Thawas agaknya tidak ditanggapi oleh Syeikh Ahmad Tijani, sehingga ia mengulangi perkataannya:

“Tetapkanlah dzikir ini dan abadikan, tanpa harus kholwah dan meyendiri. Maka Alloh akan memberikan futuh kepadamu atas keadaan tersebut.”

Perkataan At-Thawas yang kedua ini tidak banyak dikutip. Justeru perkataan pertama yang banyak ditulis. Padahal perkataan yang kedualah yang menunjukkan pokok dasar pemikiran Syeikh At-Tijani yang kemudian menjadi ciri utama Thariqatnya. Di samping itu, Ath-Thawas juga memberikan isyarat dari kedudukan yang akan diperoleh Syeikh. Beliau melakukan dzikir tersebut tidak lama, kemudian meninggalkannya. At-Thawas meninggal pada tanggal 18 Jumadil Ula 1204 H di Tazah.

Dalam proses pencarian ini, Syeikh banyak mengetahui beberapa aliran Thariqat dan mengamalkannya. Meskipun kemudian tidak diteruskan. Karena adanya Inayah Robbaniyah untuk menolaknya dan tidak mengambilnya. Kecuali dari Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sebagai kekhasan seorang yang mempunyai cita-cita tinggi.

Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, bahwa setelah melakukan lawatannya ke Fas, Syeikh menetap di Zawiyahnya Sayid Abdul Qadir bin Muhammad di Shahara Dzar, tidak jauh dari Ain Madhi. Sebagaimana petunjuk yang diperoleh sebelumnya. Bahwa futuhnya akan diperoleh di sana.

Syeikh memasuki Tunisia pada tahun 1180 H. Di daerah Azwawi, Al-Jazair Syeikh menemui seorang guru besar yang arif, Sayid Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrohman Al-Azhari. Syeikh mengambil Thariqat Khalwatiyah darinya. Al-Azhari meninggal pada permulaan Muharam tahun 1180 H.

Selanjutnya Syeikh menuju ke Tilmisan pada tahun 1181 dan menetap di sana. Syeikh mengabdikan dirinya dengan ibadah dan membaca ilmu. Terlebih Ilmu Hadits dan Tafsir. Syeikh terus-menerus melakukan taqarrub dengan bertawajjuh pada keagungan rububiyah dengan menyatakan ke-shidiq-an ubudiyahnya. Memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan keluasan ilmunya. Sehingga mulai terlihat kefutuhan yang membuka beberapa hijab yang menghalangai antara seorang hamba dan Alqudus (Alloh). Syeikh menyatakaan hijab yang tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan Irfan.

Setelah memperoleh banyak penyingkapan di Tilmisan Syeikh pergi melaksanakan haji dan ziarah kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh berangkat dari Tilmisan pada tahun 1186 H.

Dalam perjalanannya Syeikh berhenti di Tunisia dan menetap di Susah, selama setahun. Syeikh berjumpa dan bersahabat baik dengan seorang wali yang terkenal, Sayid Abdus Shamad Ar-Rahawi, salah seorang dari 4 murid wali kutub negeri tersebut. Wali kutub itu sendiri tidak dapat ditemui oleh siapa pun, kecuali seorang di antara 4 orang muridnya. Pertemuan tersebut hanya dilakukan pada malam hari, khususnya Malam Jum’at dan Senin. Hal itu disebabkan untuk menutupi kedudukannya. Syeikh meminta supaya Sayid Abdus Shamad berkenan mempertemukan dan mengenalkannya. Yang pada akhirnya Beliau pun dapat berjumpa dengannya.

Thariqat Tijaniyah adalah Thariqat yang dikembangkan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad. Mengambil dari nama kabilahnya. Thariqat ini juga masyhur dengan nama Thariqat Al-Muhammadiyah. Thariqat ini diterima langsung dari Rasululloh SAW dalam keadaan jaga. Bukan dalam keadaan tidur.

Memang sebelum mendapatkan ijazah langsung dari Rasululloh SAW, Syeikh Ahmad pernah mengambil beberapa jalur Thariqat dari beberapa Syeikh lain. Seperti Thariqat Khalwatiyah dari Abi Abdillah bin Abdur Rahman Al-Azhari.

Pada usia 46 tahun (tahun 1196 H.), Beliau dianugerahi berjumpa dengan Rasululloh SAW dalam keadaan Yaqdhah (terjaga). Dan sejak saat itu Rasululloh SAW selalu mendampinginya dan tidak pernah hilang dari pandangannya. Keadaan inilah yang disebut dengan Al-Fathul Akbar (terbukanya tirai yang menghalangi antara seseorang dan Rasululloh). Rasululloh SAW selalu membimbing Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani dan memerintahkan kepada Syeikh untuk meninggalkan sandaran kepada guru-gurunya. Karena gurunya sekarang adalah Rasululloh SAW secara langsung. Sehingga Beliau selalu berkata dengan menyandarkannya kepada Rasululloh SAW.

Ketika itu, Rasululloh SAW mentalkin (mengajarkan) dzikir/wirid berupa Istighfar dan Shalawat. Masing-masing dibaca 100 kali. Pengajaran dzikir ini disempurnakan oleh Rasululloh SAW pada tahun 1200 H. dengan tambahan Hailalah 100 kali. Dzikir inilah yang diperintahkan oleh Rasululloh SAW untuk disebarluaskan dan diajarkan kepada seluruh umat manusia dan jin.

Ketika Syeikh Ahmad bin Muhammad berusia 50 tahun. Pada Bulan Muharam, tahun 1214 H Syeikh Ahmad bin Muhammad telah sampai pada martabat Al-Quthub AL-Kamil, Al-Quthbul Al-Jami’ dan Al-Quthbul Udzhma. Pengukuhan ini dilakukan di Padang Arafah, Makah Al-Mukaramah.

Pada tahun yang sama, hari ke-18 Bulan Shafar, Beliau dianugerahi sebagai Al-Khatmu Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh Jamaah, Ikhwan, dan para muhibbin Thariqat Tijaniyah sebagai Idul Khatmi. Beliau meninggal di Faz, Maroko, tahun 1230 H.

SYEIKH ABU HASAN ASSAZILI


Nama lengkap Syeikh Abu Hasan As-Syazili ialah as-Syadzili Ali bin Abdillah bin Abdul-Jabbar, yang kalau diteruskan nasabnya akan sampai pada Hasan bin Ali bin Abu Talib dan puteranya Fatimah al-Zahra', puteri Nabi s.a.w. Syeikh Abu Hasan dilahirkan di Maroko tahun 593 H di desa yang bernama Ghimaroh di dekat kota Sabtah (dekat kota Thonjah sekarang).

Imam Syadzili dan kelimuan

Di kota kelahirannya itu Syadzili pertama kali menghafal Alquran dan menerima pelajaran ilmi-ilmu agama, termasuk mempelajari fikih madzhab Imam Malik. Beliau berhasil memperoleh ilmu yang bersumber pada Alquran dan Sunnah demikian juga ilmu yang bersumber dari akal yang jernih. Berkat ilmu yang dimilikinya, banyak para ulama yang berguru kepadanya. Sebagian mereka ada yang ingin menguji kepandaian Syekh Abu al-Hasan. Setelah diadakan dialog ilmiah akhirnya mereka mengakui bahwa beliau mempunyai ilmu yang luas, sehingga untuk menguras ilmunya seakan-akan merupakan hal yang cukup susah. Memang sebelum beliau menjalani ilmu thariqah, ia telah membekali dirinya dengan ilmu syariat yang memadahi.

Imam Syadzili dan Tariqah

Hijrah atau berkelana bisa jadi merupakan sarana paling efektif untuk menemukan jati diri. Tak terkecuali Imam Syadzili. Orang yang lebih dikenal sebagai sufi agung pendiri thariqah Syadziliyah ini juga menapaki masa hijrah dan berkelana.

Asal muasal beliau ingin mencari jalan thariqah adalah ketika masuk negara Tunis sufi besar ini ingin bertemu dengan para syekh yang ada di negeri itu. Di antara Syekh-syekh yang bisa membuat hatinya mantap dan berkenan adalah Syekh Abi Said al-Baji. Keistimewaan syekh ini adalah sebelum Abu al-Hasan berbicara mengutarakannya, dia telah mengetahui isi hatinya. Akhirnya Abu al-Hasan mantap bahwa dia adalah seorang wali. Selanjutnya dia berguru dan menimba ilmu darinya. Dari situ, mulailah Syekh Abu al-Hasan menekuni ilmu thariqah. Beliau pernah berguru pada Syeikh Ibnu Basyisy dan kemudian mendirikan tarekat yang dikenal dengan Tariqat Syaziliyyah di Mesir.

Untuk menekuni tekad ini, beliau bertandang ke berbagai negara, baik negara kawasan timur maupun negara kawasan barat. Setiap derap langkahnya, hatinya selalu bertanya, "Di tempat mana aku bisa menjumpai seorang syekh (mursyid)?". Memang benar, seorang murid dalam langkahnya untuk sampai dekat kepada Allah itu bagaikan kapal yang mengarungi lautan luas. Apakah kapal tersebut bisa berjalan dengan baik tanpa seorang nahkoda (mursyid). Dan inilah yang dialami oleh syekh Abu al-Hasan. Dalam pengembaraannya Imam Syadzili akhirnya sampai di Iraq, yaitu kawasan orang-orang sufi dan orang-orang shalih. Di Iraq beliau bertemu dengan Syekh Shalih Abi al-Fath al-Wasithi, yaitu syekh yang paling berkesan dalam hatinya dibandingkan dengan syekh di Iraq lainnya. Syekh Abu al-Fath berkata kepada Syekh Abu al-Hasan, "Hai Abu al-Hasan engkau ini mencari Wali Qutb di sini, padahal dia berada di negaramu? kembalilah, maka kamu akan menemukannya". Akhirnya, beliau kembali lagi ke Maroko, dan bertemu dengan Syekh al-Shiddiq al-Qutb al-Ghauts Abi Muhammad Abdussalam bin Masyisy al-Syarif al-Hasani. Syekh tersebut tinggal di puncak gunung.

Sebelum menemuinya, beliau membersihkan badan (mandi) di bawah gunung dan beliau datang laksana orang hina dina dan penuh dosa. Sebelum beliau naik gunung ternyata Syekh Abdussalam telah turun menemuinya dan berkata, "Selamat datang wahai Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar……". Begitu sambutan syekh tersebut sembari menuturkan nasabnya sampai Rasulullah SAW. Kemudia dia berkata, "Kamu datang kepadaku laksana orang yang hina dina dan merasa tidak mempunyai amal baik, maka bersamaku kamu akan memperoleh kekayaan dunia dan akhirat”.

Akhirnya beliau tinggal bersamanya untuk beberapa hari, sampai hatinya mendapatkan pancaran ilahi. Selama bersama Syekh Abdussalam, beliau melihat beberapa keramat yang dimilikinya. Pertemuan antara Syekh Abdussalam dan Syekh Abu al-Hasan benar-benar merupakan pertemuan antara mursyid dan murid, atau antara muwarrits dan waarits. Banyak sekali futuhat ilahiyyah yang diperoleh Syekh Abu al-Hasan dari guru agung ini. Di antara wasiat Syekh Abdussalam kepada Syadzili adalah, "Pertajam penglihatan keimanan, maka kamu akan menemukan Allah pada setiap sesuatu".

Tentang nama Syadzili

Kalau dirunut nasab maupun tempat kelahiran syekh agung ini, tidak didapati sebuah nama yang memungkinkan ia dinamakan Syadzili. Dan memang, nama tersebut adalah nama yang dia peroleh dalam perjalanan ruhaniah. Dalam hal ini Abul Hasan sendiri bercerita : "Ketika saya duduk di hadapan Syekh, di dalam ruang kecil, di sampingku ada anak kecil. Di dalam hatiku terbersit ingin tanya kepada Syekh tentang nama Allah. Akan tetapi, anak kecil tadi mendatangiku dan tangannya memegang kerah bajuku, lalu berkata, "Wahai, Abu al–Hasan, kamu ingin bertanya kepada Syekh tentang nama Allah, padahal sesungguhnya kamu adalah nama yang kamu cari, maksudnya nama Allah telah berada dalam hatimu. Akhirnya Syekh tersenyum dan berkata, "Dia telah menjawab pertanyaanmu".

Selanjutnya Syekh Abdussalam memerintahkan Abu al-Hasan untuk pergi ke daerah Afriqiyyah tepatnya di daerah bernama Syadzilah, karena Allah akan menyebutnya dengan nama Syadzili –padahal pada waktu itu Abu al-Hasan belum di kenal dengan nama tersebut.

Sebelum berangkat Abu al-Hasan meminta wasiat kepada Syekh, kemudian dia berkata, "Ingatlah Allah, bersihkan lidah dan hatimu dari segala yang mengotori nama Allah, jagalah anggota badanmu dari maksiat, kerjakanlah amal wajib, maka kamu akan memperoleh derajat kewalian. Ingatlah akan kewajibanmu terhadap Allah, maka kamu akan memperoleh derajat orang yang wara'. Kemudian berdoalah kepada Allah dengan doa, "Allahumma arihnii min dzikrihim wa minal 'awaaridhi min qibalihim wanajjinii min syarrihim wa aghninii bi khairika 'an khairihim wa tawallanii bil khushuushiyyati min bainihim innaka 'alaa kulli syai'in qadiir".

Selanjutnya sesuai petunjuk tersebut, Syekh Abu al-Hasan berangkat ke daerah tersebut untuk mengetahui rahasia yang telah dikatakan kepadanya. Dalam perjalanan ruhaniah kali ini dia banyak mendapat cobaan sebagaimana cobaan yang telah dialami oleh para wali-wali pilihan. Akan tetapi dengan cobaan tersebut justru semakin menambah tingkat keimanannya dan hatinya semakin jernih.

Sesampainya di Syadzilah, yaitu daerah dekat Tunis, dia bersama kawan-kawan dan muridnya menuju gua yang berada di Gunung Za'faran untuk munajat dan beribadah kepada Allah SWT. Selama beribadah di tempat tersebut salah satu muridnya mengetahui bahwa Syekh Abu al-Hasan banyak memiliki keramat dan tingkat ibadahnya sudah mencapai tingkatan yang tinggi.

Pada akhir munajat-nya ada bisikan suara , "Wahai Abu al-Hasan turunlah dan bergaul-lah bersama orang-orang, maka mereka akan dapat mengambil manfaat darimu, kemudian beliau berkata: "Ya Allah, mengapa Engkau perintahkan aku untuk bergaul bersama mereka, saya tidak mampu" kemudian dijawab: "Sudahlah, turun Insya Allah kamu akan selamat dan kamu tidak akan mendapat celaan dari mereka" kemudian beliau berkata lagi: "Kalau aku bersama mereka, apakah aku nanti makan dari dirham mereka? Suara itu kembali menjawab : "Bekerjalah, Aku Maha Kaya, kamu akan memperoleh rizik dari usahamu juga dari rizki yang Aku berikan secara gaib.

Dalam dialog ilahiyah ini, dia bertanya kepada Allah, kenapa dia dinamakan syadzili padahal dia bukan berasal dari syadzilah, kemudian Allah menjawab: "Aku tidak mnyebutmu dengan syadzili akan tetapi kamu adalah syadzdzuli, artinya orang yang mengasingkan untuk ber-khidmat dan mencintaiku”.

Imam Syadzili menyebarkan Tariqah Syadziliyah

Dialog ilahiyah yang sarat makna dan misi ini membuatnya semakin mantap menapaki dunia tasawuf. Tugas selanjutnya adalah bergaul bersama masyarakat, berbaur dengan kehidupan mereka, membimbing dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan ketenangan hidup. Dan Tunis adalah tempat yang dituju wali agung ini.
Di Tunis Abul Hasan tinggal di Masjid al-Bilath. Di sekitar tempat tersebut banyak para ulama dan para sufi. Di antara mereka adalah karibnya yang bernama al-Jalil Sayyidi Abu al-Azaim, Syekh Abu al-Hasan al-Shaqli dan Abu Abdillah al-Shabuni. Popularitas Syekh Abu al-Hasan semerbak harum di mana-mana. Aromanya sampai terdengar di telinga Qadhi al-Jama'ah Abu al-Qasim bin Barra'. Namun aroma ini perlahan membuatnya sesak dan gerah. Rasa iri dan hasud muncul di dalam hatinya. Dia berusaha memadamkan popularitas sufi agung ini. Dia melaporkan kepada Sultan Abi Zakaria, dengan tuduhan bahwa dia berasal dari golongan Fathimi.

Sultan meresponnya dengan mengadakan pertemuan dan menghadirkan Syekh Abu al-Hasan dan Qadhi Abul Qosim. Hadir di situ juga para pakar fiqh. Pertemuan tersebut untuk menguji seberapa kemampuan Syekh Abu al-Hasan.
Banyak pertanyaan yang dilontarkan demi menjatuhkan dan mempermalukan Abul Hasan di depan umum. Namun, sebagaimana kata-kata mutiara Imam Syafi'I, dalam ujian, orang akan terhina atau bertambah mulia. Dan nyatanya bukan kehinaan yang menimpa wali besar. Kemuliaan, keharuman nama justru semakin semerbak memenuhi berbagai lapisan masyarakat.

Qadhi Abul Qosim menjadi tersentak dan tertunduk malu. Bukan hanya karena jawaban-jawaban as-Syadzili yang tepat dan bisa menepis semua tuduhan, tapi pengakuan Sultan bahwa Syekh Abu al-Hasan adalah termasuk pemuka para wali. Rasa iri dan dengki si Qadhi terhadap Syekh Abu al-Hasan semakin bertambah, kemudian dia berusaha membujuk Sultan dan berkata: "Jika tuan membiarkan dia, maka penduduk Tunis akan menurunkanmu dari singgasana".
Ada pengakuan kebenaran dalam hati, ada juga kekhawatiran akan lengser dari singgasana. Sultan demi mementingkan urusan pribadi, menyuruh para ulama' fikih untuk keluar dari balairung dan menahan Syekh Abu al-Hasan untuk dipenjara dalam istana.

Kabar penahanan Syekh Abul Hasan mendorong salah seorang sahabatnya untuk menjenguknya. Dengan penuh rasa prihatin si karib berkata, "Orang-orang membicarakanmu bahwa kamu telah melakukan ini dan itu". Sahabat tadi menangis di depan Syekh Abu al-Hasan lalu dengan percaya diri dan kemantapan yang tinggi, Syekh tersenyum manis dan berkata, "Demi Allah, andaikata aku tidak menggunakan adab syara' maka aku akan keluar dari sini –seraya mengisyaratkan dengan jarinya-. Setiap jarinya mengisyaratkan ke dinding maka dinding tersebut langsung terbelah, kemudian Syekh berkata kepadaku: "Ambilkan aku satu teko air, sajadah dan sampaikan salamku kepada kawan-kawan. Katakan kepada mereka bahwa hanya sehari saja kita tidak bertemu dan ketika shalat maghrib nanti kita akan bertemu lagi".

Syeikh as-Syadzili tiba di Mesir

Tunis, kendatipun bisa dikatakan cikal bakal as-Syadzili menancapkan thariqah Syadziliyah namun itu bukan persinggahan terakhirnya. Dari Tunis, Syekh Abu al-Hasan menuju negara kawasan timur yaitu Iskandariah. Di sana dia bertemu dengan Syekh Abi al-Abbas al-Mursi. Pertemuan dua Syekh tadi memang benar-benar mencerminkan antara seorang mursyid dan murid.

Adapun sebab mengapa Syekh pindah ke Mesir, beliau sendiri mengatakan, "Aku bermimpi bertemu baginda Nabi, beliau bersabda padaku : "Hai Ali… pergilah ke Mesir untuk mendidik 40 orang yang benar-benar takut kepadaku”.
Di Iskandariah beliau menikah lalu dikarunia lima anak, tiga laki-laki, dan dua perempuan. Semasa di Mesir beliau sangat membawa banyak berkah. Di sana banyak ulama yang mengambil ilmu dari Syekh agung ini. Di antara mereka adalah hakim tenar Izzuddin bin Abdus-Salam, Ibnu Daqiq al-Iid , Al-hafidz al-Mundziri, Ibnu al-Hajib, Ibnu Sholah, Ibnu Usfur, dan yang lain-lain di Madrasah al-Kamiliyyah yang terletak di jalan Al-muiz li Dinillah.

Karamah Imam Syadzili

Pada suatu ketika, Sultan Abi Zakaria dikejutkan dengan berita bahwa budak perempuan yang paling disenangi dan paling dibanggakan terserang penyakit langsung meninggal. Ketika mereka sedang sibuk memandikan budak itu untuk kemudian dishalati, mereka lupa bara api yang masih menyala di dalam gedung. Tanpa ampun bara api tadi melalap pakaian, perhiasan, harta kekayaan, karpet dan kekayaan lainnya yang tidak bisa terhitung nilainya. Sembari merenung dan mengevaluasi kesalahan masa lalu, Sultan yang pernah menahan Syekh Syadzili karena hasudan qadhi Abul Qosim tersadar bahwa kejadian-kejadian ini karena sikap dia terhadap Syekh Abu al-Hasan. Dan demi melepaskan 'kutukan' ini saudara Sultan yang termasuk pengikut Syekh Abu al-Hasan meminta maaf kepada Syekh, atas perlakuan Sultan kepadanya. Cerita yang sama juga dialami Ibnu al-Barra. Ketika mati ia juga banyak mengalami cobaan baik harta maupun agamanya.

Di antara karomahnya adalah, Abul Hasan berkata, "Ketika dalam suatu perjalanan aku berkata, "Wahai Tuhanku, kapankah aku bisa menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada-Mu?, kemudian beliau mendengar suara , "Yaitu apabila kamu berpendapat tidak ada orang yang diberi nikmat oleh Allah kecuali hanya dirimu. Karena belum tahu maksud ungkapan itu aku bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimana saya bisa berpendapat seperti itu, padahal Engkau telah memberikan nikmat-Mu kepada para Nabi, ulama' dan para penguasa.

Suara itu berkata kepadaku, "Andaikata tidak ada para Nabi, maka kamu tidak akan mendapat petunjuk, andaikata tidak ada para ulama', maka kamu tidak akan menjadi orang yang taat dan andaikata tidak ada para penguasa, maka kamu tidak akan memperoleh keamanan. Ketahuilah, semua itu nikmat yang Aku berikan untukmu".
Di antara karomah sudi agung ini adalah, ketika sebagian para pakar fiqh menentang Hizib Bahr, Syekh Syadzili berkata, "Demi Allah, saya mengambil hizib tersebut langsung dari Rasulullah saw harfan bi harfin (setiap huruf)".
Di antara karomah Syekh Syadzili adalah, pada suatu ketika dalam satu majlis beliau menerangkan bab zuhud. Beliau waktu itu memakai pakaian yang bagus. Ketika itu ada seorang miskin ikut dalam majlis tersebut dengan memakai pakaian yang jelek. Dalam hati si miskin berkata, "Bagaimana seorang Syekh menerangkan bab zuhud sedangkan dia memakai pakaian seperti ini?, sebenarnya sayalah orang yang zuhud di dunia".

Tiba-tiba Syekh berpaling ke arah si miskin dan berkata, "Pakaian kamu ini adalah pakaian untuk menarik simpatik orang lain. Dengan pakaianmu itu orang akan memanggilmu dengan panggilan orang miskin dan menaruh iba padamu. Sebaliknya pakaianku ini akan disebut orang lain dengan pakaian orang kaya dan terjaga dari meminta-minta".
Sadar akan kekhilafannya, si miskin tadi beranjak berlari menuju Syekh Syadzili seraya berkata, "Demi Allah, saya mengatakan tadi hanya dalam hatiku saja dan saya bertaubat kepada Allah, ampuni saya Syekh". Rupanya hati Syekh terharu dan memberikan pakaian yang bagus kepada si miskin itu dan menunjukkannya ke seorang guru yang bernama Ibnu ad Dahan. Kemudian syekh berkata, "Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepadamu melalui hati orang-orang pilihan. Dan semoga hidupmu berkah dan mendapatkan khusnul khatimah".

Syeikh Syadzili Wafat

Syekh Abu al-Abbas al-Mursy, murid kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah mengatakan bahwa gurunya setiap tahun menunaikan ibdah haji, kemudian tinggal di kota suci mulai bulan Rajab sampai masa haji habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi SAW di Madinah. Pada musim haji yang terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa kapak minyak wangi dan perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya untuk apa kesemuanya ini, beliau menjawab, "Di Jurang Humaistara (di propinsi Bahr al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau meninggal.

Rabu, 22 September 2010

AL HABIB AHMAD BIN HASAN AL ATHAS


Nasab

Beliau dilahirkan di Huraidhoh, Hadhramaut (Yaman) pada hari Selasa 19 Ramadhan 1257 H. Al-Habib Ahmad bin Hasan bin Abdulloh bin Ali bin Abdulloh bin Muhammad bin Muhsin bin Imam Husein bin al-Quthb al-Kabiir Umar bin Abdurrohman bin Aqil al-'Atthos bin Salim bin Abdulloh bin Abdurrohman bin Abdulloh bin al-Quthb Abdurrohman as-Segaf bin Muhammad Maula Dawileh bin Ali bin Alwi bin al-Ustadz al-'Adhom al-Faqih al-Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi' Qosam bin Alwi bin Muhammad Shohib Shouma'ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Imam Jakfar ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam as-Sibth al-Husein bin al-Imam Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib suami az-Zahro Fatimah al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Masa Kecil

Ketika masih dalam umur penyusuan, ia terkena penyakit mata yang ganas hingga hilang penglihatannya. Ibu beliau merasa sedih lalu mendatangi al-Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos. Ia letakkan bayi mungil itu di depan Habib Sholeh, lalu menangis sekuat-kuatnya. "Apa yang dapat kami perbuat dengan anak yang buta ini?" kata ibunya dengan suara sedih. Habib Sholeh menggendong bayi itu, lalu memandangnya dengan tajam. "Ia akan memperoleh kedudukan yg tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya. Ia akan mencapai maqom kakeknya, Umar bin Abdurrohman al-'Atthos.", kata Habib Sholeh. Mendengar ini, ibu beliau pun merasa terhibur. Sejak itu Habib Ahmad memperoleh perhatian khusus dari Habib Sholeh. Kadang bila melihat Habib Ahmad berjalan menghampirinya, Habib Sholeh berkata, "Selamat datang pewaris sir Umar bin Abdurrohman." Kemudian Habib Sholeh memboncengkan dia di tunggangannya. Pada kesempatan lain Habib Sholeh berkata kepada beliau, "Kau mendapat madad khusus dari kakekmu Umar bin Abdurrohman."

Penglihatan Batin

Meski kehilangan kedua penglihatannya, Habib Ahmad bin Hasan tampak seperti orang yang dapat melihat dengan baik. Allah mengganti penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah. Hal ini terbukti dalam beberapa peristiwa, baik ketika beliau masih kecil maupun setelah mencapai usia lanjut. Seakan Alloh SWT ingin menunjukkan kepada orang-orang yang hidup sejamannya makna firman-Nya: "Karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada." (Q.S. al-Haj, 22:46). Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yg telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya.

Sebagaimana manusia, semua hewan juga memiliki cahaya mata dhohir, tapi cahaya mata hati (bashiroh) hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah dipersiapkan Alloh untuk dekat dengan-Nya. Habib Ahmad sering memberitahu hal-hal yang luput dari pandangan para sahabatnya. Habib Umar bin Muhammad al-'Atthos bercerita, "Ketika masih kecil, aku suka bermain-main dengan Akh Ahmad bin Hasan dan Akh Abdulloh bin Abubakar bin Abdulloh di jalanan kota. Usia kami sebaya, aku sering mendengar masyarakat memperbincangkan kewalian dan kasyf-kasyf Akh Ahmad bin Hasan, namun aku belum pernah membuktikannya. Suatu hari aku berkata pada Akh Abdulloh bin Abubakar, "Mari kita buktikan omongan masyarakat malam ini. Jika ia memang seorang wali, kita akan membenarkannya, tapi jika itu hanya kabar bohong, kita akan membuatnya menderita."

Kami menggali lubang di dekat tempat kami bermain lalu kami tutup dengan tikar. Setelah tiba saat bermain, aku berkata pada pada Akh Ahmad bin Hasan, "Malam ini kita adakan lomba lari.". Kami tempatkan ia di tengah2, tepat ke arah lubang yang baru kami gali. Kami lalu berlari sambil berteriak, "Ayo lari...lari...!". Ketika sudah dekat dengan lubang itu, Akh Ahmad melompat seperti seekor kijang. Mulanya kami kira kejadian ini hanya suatu kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba lagi. Tapi ketika sampai di depan lubang, ia melompat seperti sebelumnya. Saat itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa.

Pernah ada lelaki datang menemui beliau dengan membawa uang 1 dirham yang ia temukan di jalan. Di permukaan dirham itu tertulis sesuatu yang sulit dibaca karena dirham itu sudah terlalu tua. Beliau meraba dirham tersebut, lalu berkata kepada murid beliau, Syeikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl, "Coba perhatikan dengan teliti, apa yang tertulis di permukaan dirham ini.". Ia mencoba membacanya, tapi tidak berhasil. Beliau kemudian berkata, "Mungkin ini adalah jenis dirham ash-Shomadiah yang dikeluarkan oleh Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi. Pada sisi yang satu tertulis surat al-Ikhlas dan pada sisi lain tertulis: Laa ilaaha 'illallaah wahdahu laa syariikalahu, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa 'alaa kulli syay'in qodiir.". Syeikh Muhammad lalu mencoba melihat mata uang itu dengan lebih teliti, ternyata benar apa yang ducapkan Habib Ahmad bin Hasan. Nama raja Sulaiman bin Abdul Malik al-Umawi tertulis melingkari mata uang tersebut dengan tulisan kufi tanpat titik dan dengan aturan yang aneh.

Menuntut Ilmu

Sejak kecil beliau Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos gemar menuntut ilmu. Ketika berusia 5 tahun, kakek beliau, Habib Abdulloh, mengajari beliau membaca Qur'an sebelum menyerahkan pendidikan beliau pada Faraj bin Umar bin Sabbah murid Habib Hadun bin Ali bin Hasan al-'Atthos. Beliau juga belajar kepada Habib Sholeh bin Abdullah al-'Atthos. Beliau bercerita, "Suatu hari, ketika usiaku 5 tahun, aku bermain-main & berguling-guling di tanah. Kebetulan Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos lewat di dekatku. Beliau berkata, 'Bangun, pakai pakaianmu lalu tunaikan Sholat Jum'at!'...". "Tubuhku kotor!", jawabku. "Tidak masalah, bangunlah, pakai pakaianmu dan kerjakanlah Sholat Jum'at!". Habib Sholeh lalu membacakan firman Alloh Ta'ala: "Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Alloh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.". (Q.S. al-Haj, 22:32). Inilah ayat pertama yang dihafalkan oleh Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos dari Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos. Perlu diketahui bahwa Habib Ahmad memiliki daya hafal yang luar biasa, beliau mampu menghafal dengan sekali dengar. Setiap kali ada ulama datang ke kotanya, Huraidhoh, beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka. "Hatiku dipenuhi rasa pengagungan dan penghormatan pada salaf yang tiba di kotaku. Ketika Habib al-'Allamah Muhammad bin Ali Assegaf datang, aku seakan-akan melihat seorang nabi."

Guru-Guru Beliau

Guru-guru beliau antara lain adalah Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos, Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos, Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdhor, Habib Ahmad bin Abdulloh bin Idrus al-Bar, Habib Abdurrohman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Ali bin Alwi bin Abdillah Assegaf & Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih. Sedangkan guru-guru beliau di Haramain adalah Habib Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assegaf, Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Shol Maula Dawileh, dan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan. Adapun Syeikh fath Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos adalah Habib Sholeh bin Abdulloh al-'Atthos dan Habib Abubakar bin Abdulloh al-'Atthos. Habib Sholeh men-tahkiim beliau sebagai seorang sufi dengan mencukur rambut kepala beliau dengan kedua tangannya yang mulia dan memerintahkannya untuk wudhu & mandi. Setelah itu Habib Sholeh mendudukkan beliau di hadapannya lalu men-talqiin kalimat: "Laa ilaa illallah Muhammadun Rasuulullaah" sebanyak 3 kali dan kemudian memberi beliau ijaazah dan ilbaas. Buku-buku yang dibaca Habib Ahmad di hadapan Habib Sholeh antara lain adalah "Idhoohu Asroori Uluumil Muqorrobiin, Ar-Risaalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifaa' karya Qodhi 'Iyadh dan Mukhtashor al-Adzkaar karya al-Allamah Syeikh Muhammad bin Umar Bahroq. Semenjak berguru kepada Habib Sholeh, beliau tidak pernah meninggalkan majlisnya, baik saat Habib Sholeh berada di kota 'Amd maupun di luar kota, hingga Habib Sholeh meninggal dunia pada tahun 1279 H.

Subhaanaka-lloohumma wa bihamdika, Asyhadu an-laailaahailla anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaika...
Wallohu a'lam bishshowab

Sumber :
"Sekilas tentang Habib Ahmad bin Hasan al-'Atthos: Riwayat hidup, Wasiat dan Nasihat, Kisah & Hikmah, Do'a dan Amalan."


Oleh: Sayyidy al-Habib Novel bin Muhammad al-'Aydrus.
Penerbit: Putera Riyadi, Solo.