Selasa, 25 Mei 2010

AL HABIB ABDURRAHMAN AZ ZAHIR

Pejuang Perang Aceh

Perang Aceh dan Belanda ditabuhkan pada tanggal 26 Maret 1873. Saya akan menukil secarik surat Tgk. Imuem Lueng Bata yang dikirim ke Habib Abdurrahman az-Zahir yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan Aceh Darussalam, sebagai ultimatum untuk menghentikan perundingan dengan Belanda di Singapura;

“Saudara lebih baik tidak lama lama tinggal di situ atau membuat janji yang sia-sia karena kami telah bersumpah di atas Al Qur’an bahwa selama nyawa masih di kandung badan atau salah satu dari kami masih hidup maka kami sudah pasti tidak akan bersahabat dengan Belanda” (surat ini dikirim pada bulan Mei 1874).

Surat itu tak banyak diketahui dan tercecer dari catatan sejarah Aceh. Dan Tgk Imuem Lueng Bata, seorang ulama karismatik yang menjadi pemimpin perang Aceh dengan Belanda mengirim surat itu setelah. Menurut sejarah, surat ini sudah mendapat persetujuan dari Panglima Polem, Tuanku Hasyim dan beberapa pemimpin terkemuka lainnya. Tujuan surat tersebut adalah untuk Habib Abdurrahman Az Zahir, Teuku Paya dan Nyak Abbas yang lagi bulak balik Penang, Johor dan Singapura. Mereka yang berdomisili di luar negeri tersebut ditugaskan untuk mencari dukungan diplomatik dari beberapa Negara besar seperti Inggris, Perancis,dan Amerika Serikat. Mereka juga mendapat tugas untuk melakukan hubungan yang intesif dengan pihak Belanda untuk menjajaki perundingan antara Aceh dengan Belanda.

Sikap pemimpin Aceh yang mencabut surat dukungan untuk Habib Abdurrahman Az Zahir dan kawan kawannya sebagai juru runding dari pihak Aceh dengan Belanda di Singapora tidak terlepas karena sikap Jenderal Van Swieten yang menganggap Aceh telah ditaklukinya dengan menguasai Dalam (Istana Sultan) pada bulan Januari 1874. Padahal utusan Jenderal Loudon, Gubernur Hindia Belanda di Jakarta yakni Kapten Roura (Reid: 1969) yang ditemani oleh Teuku Nek Meuraksa telah bertemu juru runding Aceh Habib Abdurrahman dan kawan-kawan di Singapura pada tanggal 20 Juli 1874.

Saat itu, Roura meminta Loudon mengkomunikasikan dengan penguasa perang Aceh Jenderal Van Swieten, tetapi dijawab oleh Van Swieten pada tanggal 23 Juli 1874: Di Kutaraja kita kuat, sangat kuat, dan kita dapat dengan segala kekuatan kita menolak semua yang tidak termasuk ke dalam menyerah tanpa syarat. Dengan berpegang teguh pada ini kita akan dapati dengan sangat cepat mewujudkan akhir dari peperangan, terutama jika kita menolak campur tangan siapapun kecuali campur tangan kepala kepala suku yang popular (ulubalang yang menyerah)

Ituah yang memantik perang Aceh makin membara, selain keangkuhan Belanda juga adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh salah seorang warga Arab-Aceh, Habib. Para ulama dan pemimpin di Aceh lebih mengedepankan sikap berjuang melawan Belanda, ketimbang berunding apalagi menyerah kepada Belanda. Harus diakui bahwa inilah sikap awal mengapa rakyat Aceh tidak pernah mau menyerah di bawah pendudukkan Belanda.

Keangkuhan Jenderal Van Swieten ini harus ditebus mahal Belanda dalam sejarah perang kolonialnya di Hidia Belanda (Indonesia) bahkan personil personil terbaiknya korban di Aceh seperti Jenderal Kohler, Jenderal Pel, Jenderal Demmenie. Sekarang masih bisa kita saksikan di Kerkohf dan hampir seluruh wilayah Aceh baik di pesisir maupun di dataran tinggi Gayo dan Alas. Dan ratusan ribu kaum muslimin Aceh baik yang berada di pesisir maupun didataran tinggi Gayo dan Alas syahid dalam perang yang terlama dalam sejarah colonial Belanda di Nusantara.

Sebagai “hadiah” terhadap sikap lunak Habib Abdurrahman, dia pada tanggal 13 Oktober 1878 bersama teman temannya Teuku Muda Baet memilih menyerah kepada Belanda di Kuta Raja. Sebagai imbalannya Gubernur Hindia Belanda (Indonesia) Jenderal Van Lansberge di Batavia (Jakarta) bersedia memberangkatkan Habib Abdurrachman Az Zahir dan pengikutnya ke Jeddah dengan kapal NV Cuaracao. Dia sendiri, menurut para peneliti sejarah, telah mendapat pensiun dari pemerintah Belanda 10.000 dollar per bulan atas jasa “menjual bangsanya” kepada Belanda. Disebutkan bahwa yang mengantarkan Habib ini adalah Mayor Macleod ke Jeddah. Perangai Habib ini kemudian dipelesetkan dari lagu “Faldera Dera” yang sangat terkenal di Hindia Belanda (Indonesia) oleh Macleod menjadi:

//Nun di sana terapung istana Samudra/ Namanya Cuaracao/ Habib yang berani akan dibawa/ ke Mekkah tujuan nyata/ Kini ia berdendang riang Faldera Dera Untuk gubernemen kita/ Banyaknya sekian ribuan dolar sebulan Tidak cerdikkah saya?//

Ada beberapa hikmah dari dua surat dan sikap “lunak” Habib Abdurrahman. Pertama, sebenarnya Belanda punya keinginan kuat untuk mengakhiri perang mereka di Aceh, namun karena Jenderal van Swieten telah menguasai simbol rakyat Aceh yaitu dalam (istana), namun dia abai bahwa simbol rakyat Aceh tidak hanya ada pada istana, namun yang paling penting adalah pada ulama dan pemimpin lainnya di luar istana. Inilah awal kesalahan Belanda di dalam sejarah perang mereka di Aceh. Itu ditunjukkan dari sikap kesatria oleh Tgk. Imuem Lueng Bata ketika menginginkan simbol rakyat Aceh harus dipertahankan, yaitu agama (baca melawan kafir).

Kedua, pola pengkhianatan yang dilakukan oleh Habib Abdurrahman adalah bukti kuat bahwa di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh pengkhianat selalu muncul, tidak mengenal title dan derajat sosial mereka. Ketiga, pelajaran yang paling bermakna dari sikap awal ulama menentang Belanda ini adalah semangat jihat rakyat Aceh tidak pernah padam, walaupun sang penjajah telah mengklaim menguasai simbol-simbol kekuasaan.


Menjelang akhir abad ke-19 tekanan kolonialisme Belanda terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan semakin bengis, terutama terhadap pejuang-pejuang Islam. Tapi tekanan itu tidak pernah mengendurkan semangat para syuhada dalam berjuang melawan penjajah. Berbagai perlawanan, bahkan peperangan terjadi di tanah air untuk mendepak keluar penjajah.
Di antara peperangan melawan Belanda, perang Aceh merupakan peperangan yang paling lama dan dahsyat. Dari tahun 1973 sampai tahun 1903, tidak kurang dari 30 tahun, tanah rencong ini bergolak dan disirami darah para syuhada. Dalam perang ini, beberapa nama menjadi sangat terkenal, seperti Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dien dan banyak lagi. Tapi, seperti dikatakan oleh Mr. Hamid Algadri (alm.), 86, di dalam bukunya, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, kurang diketahui oleh umum bahwa di dalam perang itu juga terdapat beberapa keturunan Arab. Bahkan, kata Hamid Algadri, mereka berperan bersama di antara para pemimping Aceh dalam perang dahsyat itu.

Nama yang disebut Snouck Hurgronje antara lain adalah Habib Tengku Teupin Wan, salah seorang organisator perang suci itu. Nama-nama lain keturunan Arab yang disebutnya adalah Habib Long, Habib Samalanga dan sebagainya. Tetapi, kata Snouck, yang paling terkenal diantara pemimpin Perang Aceh keturunan Arab adalah Habib Abdurrahman Azzahir yang lahir di Teupin Wan, sebuah desa di Aceh, dekat Lamjong.

Diantara semua gejala ini, masih kata Snouck, munculnya Habib Abdurrahman adalah yang paling mengkhawatirkan pihak kolonial Belanda. Maksudnya di antara tokoh-tokoh Aceh dan para habib yang terlibat di dalam perang itu, Habib ini yang sering dipanggil Habib Itam atau Abdurrahman Teupian Wan, diakui oleh umum sebagai pemimpin tertinggi orang Aceh. Orang terpenting yang bekerja di bawah pimpinannya adalah Engku Id, Tengku Abas, Tjot Rang, Imeum Saidi dari Lambaro dan banyak lagi, seperti Tengku Soepi, putera Tengku di Langget yang masyhur.

Terhadap pendapat bahwa Habib Abdurrahman Al-Zahir (Al-Zahir adalah cabang dari Shahab) hanya merupakan pemimpin bayangan Perang Sabil, Snocuk tegas-tegas membantahnya. Pendapat Snocuk ini berdasarkan kenyataan yang ada dan berdasarkan apa yang masih diingat oleh jenderal-jenderal Belanda sendiri mengenai aksi-aksi Habib.

Selain Snouck, seorang penulis Australia, Anthony Reid juga menulis tentang Habib Abdurrahman Azzahir. Digambarkan bahwa waktu munculnya sang Habib di sekitar tahun 1870, kesultanan Aceh sudah merupakan pemerintahan yang tidak berarti, karena antara lain munculnya curiga-mencurigai diantara para hulubalang sehingga membatasi kemampuan sultan untuk memerintah secara efektif. Tetapi seorang pemimpin agama seperti Habib Abdurrahman dapat menghimbau rakyat berdasarkan loyalitas yang lebih tinggi dengan menonjolkan kewajiban agama, untuk mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk usaha diplomatik dan perang. Ia, setelah berhasil menghimpun dana besar, juga berhasil mendamaikan para hulubalang dan sultan yang berada dalam permusuhan selama puluhan tahun. Habib juga berhasil membangun kekuatan militer sendiri untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar