Imam Ali Ar-Ridha
Imam Ali bin Musa Al-Kadzim, dilahirkan di Madinah, 11 Dzulkaidah 148 H - Masyhad, 17 Safar 203 H ( diperkirakan 1 Januari 765 - 26 Mei 818) adalah imam ke-8 dalam tradisi Syi'ah Dua Belas Imam. Dalam Bahasa Persia, Beliau sering dipanggil dengan nama Imam Reza dan dijuluki dengan panggilan Abu al-Hasan. Beliau hidup pada masa berkuasanya tiga orang Khalifah Bani Abbasiyah yaitu Harun ar-Rasyid, al-Amin dan al-Ma'mun dan diangkat oleh al-Ma'mun menjadi putra mahkota kekhalifahan dimana hal ini menyebabkan pemberontakan dari keluarga Bani Abbasiyah lainnya terhadap al-Ma'mun.
Imam Musa as. berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.
Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim, penj.), tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as. lalu beliau (Imam Musa) berkata,
“Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku”.
Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku”.
Demikian pula salah seorang sahabatnya pernah bertanya tentang Imam sepeninggalnya, Imam Musa as. memberi isyarat kepada anaknya Ali Ar-Ridha sambil berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku”.
Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as. berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha as.
Budi Pekerti Yang Agung
Para Imam Ahlul Bait as. adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah SWT. untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.
Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abal Hasan Ar-Ridha as. mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya.
“Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya”.
Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, ”Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?”.
“Sesungguhnya Allah swt. satu, manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu, mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as.
Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abal Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!”.
Imam menjawab, ”Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”.
Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia”.
Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu, sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, “Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa”.
Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as. berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba masuk seorang warga Khurasan dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah, aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu, aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku, tak satupun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak”.
Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as. berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”.
Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”.
Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini dua ratus Dinar, pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami”.
Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.
Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra Rasulullah?”
Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni’”.
Jangan Merasa Bangga!
Ahmad Bizanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali surat menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.
Bizanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:
“Imam Ar-Ridha as. memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu ‘Isya, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam.
Aku menjawab, ”Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian”.
Beliau berkata kepadaku, ”Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah”.
Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ”Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain, aku telah tertipu oleh setan”.
Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, “Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as. menengok Sa’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Wahai Sa’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu”.
Seakan-akan Imam membaca apa yang terlindas dalam pikiran Bizanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as. bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.
Nasihat untuk Saudara
Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.
Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.
Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as. diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as. sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.
Kepada saudaranya Imam as. berkata, “Duhai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok?! Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as. telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka?! Celakalah kau Zaid! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw. dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, akan tetapi Hasan dan Husain.
“Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali ketaatan kepada Allah swt. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah?! Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu Musa bin Ja’far as.!”.
Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?!”.
Imam menjawab, “Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as. memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih’.
“Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh’.
“Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya”.
Di Majelis Ma’mun
Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh madzhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka.
Imam as. bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermanaHassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh madzhab itu?”.
Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu”.
Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?”.
“Tentu”, jawab Naufal.
Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah”.
Imam Ali Ar-Ridha as. menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.
Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya”.
Imam Ar-Ridha as. berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”.
“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.
Lalu Imam Ali Ar-Ridha as. membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as. mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.
Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu”.
Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.
Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.
Ketika masuk waktu zuhur, Imam as. bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.
Perjalanan ke Moro
Tak seorangpun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as. menjadi penggantinya kelak.
Ketika Imam as. tinggal di Madinah Al- Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Moro.
Imam as. menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Basrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qum yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah”.
Di Naisyabur
Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.
Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as. dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.
Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw., sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu”.
Imam as. berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far mengatakan, “Aku mendengar Ayahku Ja’far bin Muhammad mengatakan, “Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, “Aku mendengar ayahku Ali bin Husain mengatakan, “Aku mendengar ayahku Husain bin ‘Ali mengatakan, “Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Aku mendengar Jibril berkata, “Aku mendengar Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku”.
Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.
Imam Ali Ar-Ridha as. meninggalkan Neisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu zuhur, Imam as. meminta air untuk berwudhu, akan tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.
Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.
Imam Ar-Ridha as. dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.
Imam as. masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, ”Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan, Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa’at kami Ahlul Bait”.
Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.
Di Moro
Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as. di Moro. Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.
Imam Ali Ar-Ridha as. tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta?!
Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dia menetapkan kewajiban mentaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.
Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman, akhirnya Imam Ridha as. menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa Ma’mun tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.
Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as.).
Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as. dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.
Shalat Ied
Imam Ali Ar-Ridha as. dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as. untuk menjadi imam Shalat Ied.
Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.
Imam as. menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Shalat Ied sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.
Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as. keluar.
Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.
Imam Ali Ar-Ridha as. mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.
Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as. mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam dan bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as. dengan kaki telanjang.
Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.
Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Ied yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw. dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.
Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat, segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khutbah.
Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as. yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”.
Imam as. kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.
Tujuan Ma’mun
Tak seorangpun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as. sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:
1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as. sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.
2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.
Tentunya, Imam as. mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, Shalat Ied, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.
Da’bal Al-Khuza’i
Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.
Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da’bal Al-Khuza’i.
Sejarah mencatat pertemuan Da’bal dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shlat Al-Harawi meriwayatkan, “Da’bal menjumpai Imam Ar-Ridha as. di Moro dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya’.
Imam as. menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Da’bal ialah:
Kediaman-kediaman manusia suci
kini telah sunyi dari pengunjung
Rumah wahyu tidak lagi
dituruni kabar-kabar langit
Pusara di Kufah dan
yang lainnya di Thaibah (Baqi’),
Pula yang di Fakh (Karbala)
senantiasa tercurah salawatku
Dan pusara di Baghdad,
milik jiwa yang suci
Tercurahkan rahmat Sang Pengasih
dalam ruang-ruang kedamaian.
Imam lalu menyambutnya,
Pusara di Thusi betapa besar
Dera nestapa yang menimpanya
Da’bal dengan penuh keheranan bertanya, “Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?”.
“Itulah kuburku wahai Da’bal!,” jawab Imam as.
Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlul Bait. Imam as. menangis, air matanya berderai menghangatkan pipinya.
Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da’bal. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar.
Da’bal memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok.Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:
Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.
Di tangan mereka harta rampasan dari emas
Mendengar bait itu, Da’bal bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”
“Ini puisi Da’bal”, jawabnya.
“Akulah Da’bal”, kata Da’bal memperkenalkan diri.
Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.
Da’bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Da’bal menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk tabarruk dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Da’bal pun merelakannya.
Ketika sampai di rumahnya, Da’bal mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan”.
Da’bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam, kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Da’bal terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikitpun berkat karamah Imam Ali Ar-Ridha as.
Hari Kesyahidan
Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as. dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.
Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.
Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di sekitar anggur.
Imam as. meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.
Imam Ali Ar-Ridha as. syahid pada tahun 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran).
Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as. dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.
Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha as.
* “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah swt.”
* “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi”.
* “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri”.
* “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya”.
* “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya”.
Sebuah Pesan dari Imam Ali Ar-Ridha a.s
Ali bin Syu'aib, salah seorang sahabat setia Imam Ridha a.s. bercerita: "Suatu hari aku pergi untuk bertamu ke rumah Imam Ridha a.s. "Wahai Ali, Kehidupan siapakah yang terbaik?", tanyanya kepadaku.
"Wahai Imam, Anda yang lebih tahu", jawabku pendek.
"Orang yang memakmurkan kehidupan orang lain dengan biaya hidupnya sendiri", jawabnya.
"Apakah engkau tahu kehidupan siapakah yang paling jelek?", tanyanya kembali.
"Anda lebih tahu", jawabku.
"Orang yang orang lain tidak dapat mengambil manfaat dari kehidupannya", jawabnya".
Pada kesempatan ini kami persembahkan kepada para pembaca budiman ucapan-ucapan suci pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Ridha a.s.
1. Tiga karakter orang mukmin
"Seseorang tidak akan menjadi mukmin yang sejati kecuali ia memiliki tiga karakter berikut ini:
mengikuti sunnah Tuhannya,
sunnah Nabi-Nya dan
sunnah imamnya.
Sunnah (kebiasaan yang dilakukan oleh) Tuhannya adalah menyimpan rahasia, sunnah Nabi-Nya adalah berbuat toleransi terhadap orang lain dan sunnah imamnya adalah sabar menanggung kesengsaraan".
2. Pahala berbuat kebajikan secara diam-diam dan ancaman bagi orang yang melakukan kejelekan secara terang-terangan
"Orang yang berbuat kebaikan secara diam-diam pahalanya sama dengan tujuh puluh kebaikan, orang yang melakukan kejelekan secara terang-terangan, ia akan hina dan orang yang menutupi kejelekan akan diampuni".
3. Kebersihan
"Menjaga kebersihan adalah termasuk akhlak para nabi a.s."
4. Orang yang dapat dipercaya
"Orang yang (pada hakikatnya) dapat dipercaya tidak akan berkhianat kepadamu, dan hanya engkaulah yang menganggap pengkhianat sebagai orang yang dapat dipercaya".
5. Kedudukan saudara tertua
"Kedudukan saudara tertua seperti kedudukan seorang ayah".
6. Sahabat dan musuh setiap orang
"Sahabat setiap orang adalah akalnya dan musuhnya adalah kebodohannya".
7. Menyebutkan nama seseorang dengan penuh penghormatan
"Jika engkau menyebut nama seseorang yang ada di hadapanmu, maka sebutlah julukannya, dan jika ia tidak ada di hadapanmu, maka sebutlah namanya".
8. Kejelekan banyak bicara
"Allah membenci banyak bicara, menghambur-hamburkan harta dan meminta-minta".
9. Sepuluh keistimewaan orang yang berakal
"Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh karakter berikut:
a. Kebaikannya selalu diharapkan orang
b. Orang lain merasa aman dari kejahatannya
c. Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit
d. Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain
e. Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya
f. Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya
g. Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan
h. Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya
i. Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran".
Kemudian Imam Ridha a.s. bertanya: "Yang kesepuluh, apakah yang kesepuluh?" "Apakah yang kesepuluh?", tanya seorang sahabat.
"Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya): 'Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa'", jawabnya singkat.
1. Tanda-tanda safilah
Imam Ridha a.s. pernah ditanya tentang siapakah safilah itu. Ia menjawab: "(Safilah) adalah orang yang dilupakan oleh hartanya untuk mengingat Allah".
2. Imam, takwa dan yakin
"Sesungguhnya iman lebih utama dari Islam satu derajat, takwa lebih utama dari iman satu derajat dan bani Adam tidak akan dianugerahi sesuatu yang lebih utama dari yakin".
3. Walimah perkawinan
"Mengadakan walimah perkawinan adalah termasuk sunnah".
4. Silaturahmi dengan sarana apa pun
"Sambunglah tali persudaraanmu walau dengan memberikan seteguk air minum, dan cara yang terbaik untuk itu adalah tidak mengganggu kerabatmu".
5. Senjata para nabi a.s.
"Pergnakanlah senjata para nabi a.s.!"
"Apakah senjata para nabi itu?", tanya sebagian sahabat.
"Doa", jawabnya singkat.
6. Tanda-tanda orang yang "faqih" dalam agama
"Di antara tanda-tanda orang yang 'faqih' dalam agama adalah kesabaran dan ilmu. Diam adalah salah satu pintu dari pintu-pintu hikmah. Sesungguhnya diam dapat mendatangkan kecintaan, dan ia adalah tanda setiap kebaikan".
7. Hakikat tawakal
Imam Ridha a.s. pernah ditanya tentang hakikat tawakal. Ia menjawab: "(Tawakal) adalah engkau tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah".
8. Manusia terjahat
"Manusia terjahat adalah orang yang tidak mau menolong orang lain, makan sendirian dan memukul budaknya (baca : bawahannya)".
9. Para penguasa tidak akan pernah menepati janji
"Orang yang kikir tidak akan pernah tenang, penghasud tidak akan pernah bahagia, para penguasa tidak akan pernah menepati janji dan pembohong tidak akan memiliki harga diri".
10. Mencium tangan, tidak!
"Seseorang tidak boleh mencium tangan sesamanya, karena mencium tangannya sama halnya dengan mengerjakan shalat kepadanya".
11. Berprasangka baik kepada Allah
"Berprasangkalah baik kepada Allah, karena orang yang berprasangka baik kepada Allah, Ia akan seperti yang disangkannya. Barang siapa yang rela dengan rezeki sedikit, maka amalannya yang sedikit akan diterima, tanggungannya menjadi ringan, keluarganya akan dianugerahi nikmat, Allah akan memberitahukan kepadanya penyakit dunia dan obatnya dan Ia akan mengeluarkannya dari dunia ini dengan selamat menuju alam kebahagiaan".
12. Rukun iman
"Iman memiliki empat rukun: tawakal kepada Allah, rela dengan segala ketentuan (qadha`)-Nya, pasrah diri terhadap semua perintah-Nya dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya".
13. Hamba Allah terbaik
Imam Ridha a.s. pernah ditanya tentang hamba Allah yang terbaik. Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang jika berbuat kebajikan marasa bahagia, jika berbuat kejahatan akan meminta ampun, jika dianugerahi oleh orang lain akan berterima kasih, dan jika marah akan memaafkan".
14. Menghina orang fakir
"Barang siapa berjumpa dengan orang fakir dan mengucapkan salam kepadanya dengan cara yang berbeda ketika mengucapkan salam kepada orang kaya, maka ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat sedangkan Ia murka kepadanya".
15. Kebahagiaan dunia
Imam Ridha a.s. pernah ditanya mengenai kebahgiaan dunia. Ia menjawab: "Luasnya rumah dan banyaknya sahabat".
16. Akibat pmerintahan zalim
"Jika para penguasa sudah berani berbohong, maka hujan tidak akan turun, jika penguasa sudah berani berbuat lalim, maka negara akan hina, dan jika zakat tidak dibayar, maka binatang-binatang ternak akan binasa".
17. Membahagiakan orang mukmin
"Barang siapa menolong orang mukmin menangani kesusahannya, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari hatinya pada hari kiamat".
18. Amalan terbaik setelah hal-hal yang wajib
"Tidak ada amalan yang lebih utama di sisi Allah setelah hal-hal yang wajib dari membahagiakan orang mukmin".
19. Tidak berlebihan dalam berbuat kebaikan
"Janganlah berlebihan ketika engkau kaya atau miskin dan dalam berbuat kebaikan, baik dari barang yang banyak atau sedikit, karena Allah SWT bisa membesarkan pahala sedekah setengah potong kurma pada hari kiamat hingga menjadi seperti gunung Uhud ".
20. Saling berkunjung dan menampakkan rasa kasih sayang
"Saling berkunjunglah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai, dan saling bersalamanlah kalian dan jangan saling bermusuhan"
21. Merahasiakan pekerjaan
"Rahasiakanlah urusan agama dan dunia kalian, karena diriwayatkan bahwa "menyebarkan urusan-urusan tersebut adalah kekufuran", "orang yang suka menyebarkannya dan pembunuh adalah sama" dan "apa yang kau rahasiakan dari musuhmu hendaknya sahabatmu juga jangan sampai mengetahuinya".
22. Melanggar janji dan tipu muslihat
"Seseorang tidak akan dapat membebaskan diri dari lingkaran kesengsaraan dengan melanggar janji, dan tidak akan aman dari ancaman siksa jika melakukan kezaliman dengan cara tipu muslihat".
23. Cara menghadapi empat golongan
"Hadapilah raja dengan penuh waspada, sahabat dengan rendah hati, musuh dengan cara hati-hati dan masyarakat umum dengan wajah yang ceria".
24. Rela dengan rezeki yang sedikit
"Barang siapa yang rela terhadap Allah karena rezeki sedikit (yang telah dianugerahkannya kepadanya), maka Ia akan merelai amalannya yang sedikit".
25. Pahala orang yang mau berusaha
"Barang siapa yang berusaha mencari rezeki dengan tujuan untuk menghidupi keluarganya, pahalanya lebih besar dari orang yang berjihad di jalan Allah".
26. Sifat pemaaf akan selalu menang
"Jika dua kelompok saling bertemu, maka kemenangan akan berpihak kepada kelompok yang paling pemaaf".
27. Amal saleh dan mencintai keluarga Muhammad SAW
"Janganlah meninggalkan amal saleh dan kesungguhan dalam ibadah karena mengandalkan cinta kepada keluarga Muhammad SAWW dan janganlah meninggalkan kecintaan kepada keluarga Muhammad SAWW karena mengandalkan ibadah (yang kau kerjakan), karena salah satunya tidak akan diterima kecuali jika disertai dengan yang lainnya".
Julukan lainnya yang diberikan kepada Imam Ali ar-Ridha adalah ash-Shabir, ar-Radhi, al-Wafi, az-Zaki, dan al-Wali.Selain itu julukan lainnya adalah:
1. Imam Zamin'i Tsamin, Tsamin berarti delapan, Zamin berarti keselamatan dan keamanan.
2. Gharibul-Ghurabaa
3. Alim'i ali Muhammad
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Kelahiran
Pada tanggal 11 Dzulkaidah 148 H, seorang anak laki-laki lahir di rumah Imam Musa al-Kadzim (Imam ke-7) di Madinah, yang nantinya akan mengambil posisi keimaman, setelah ayahnya.Namanya adalah Ali dengan julukan ar-Ridha. Beliau lahir satu bulan setelah kakeknya, Imam Ja'far ash-Shadiq meninggal.
Ibu
lbunya bernama Taktam, ada pula yang menyebut bernama Najmah, yang dijuluki Ummu al-Banin, seorang yang shalehah, ahli ibadah, utama dalam akal dan agamanya dan setelah melahirkan Ali ar-Ridha, Musa al-Kadzim memberinya nama at-Thahirah.
Saudara
Beliau memiliki saudara yang bernama Zaid, yang melakukan revolusi dan membuat kerusuhan di Madinah. Zaid pernah tertangkap dan dibawa atas perintah al-Ma'mun ke Khurasan untuk diadili. Al-Ma'mun membebaskannya sebagai penghormatan terhadap Imam Ali ar-Ridha.
Imam Ali ar-Ridha memiliki saudara lain yang bernama Abdullah, dimana ia hidup sampai masa Imam Muhammad al-Jawad.
Imam Ali ar-Ridha memiliki seorang saudari yang bernama Fatimah Maksumah, ia meninggal di Qom, Iran ketika datang dari Madinah menuju Masyhad untuk mencari kakaknya, Imam Ali ar-Ridha. Kuburan Fatimah Maksumah, sampai saat ini masih terdapat di Qom, dan menjadi pusat ziarah di sana.
Istri-istri
Imam Ali ar-Ridha menikah dengan Sayyidah Sabika yang juga dikenal dengan nama Khaizarun. Istri Imam Ali ar-Ridha ini adalah keturunan sahabat Muhammad, yang juga pembela setia Ali, Ammar bin Yasir. Khaizarun merupakan ibu dari Imam ke-9, Muhammad al-Jawad.
Selain itu, Imam Ali ar-Ridha dinikahkan pula dengan putri dari khalifah saat itu, Ummul Fadhl binti al-Ma'mun, dimana menurut riwayat, Ummul Fadhl begitu mengetahui Imam Ali ar-Ridha telah memiliki istri lain yang telah memberikan keturunan, maka ia menjadi marah, dan setuju untuk memberi racun kepada Imam Ali ar-Ridha hingga menyebabkan wafatnya Imam Ali ar-Ridha.
Keturunan
Putra-putra Imam bernama:
1. Hasan
2. Muhammad al-Jawad, penerus keimaman
3. Ja'far
4. Ibrahim
5. Husain
Putri Imam Ali ar-Ridha bernama Aisyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar